Senin, 07 Oktober 2013

Lembing


Lima hari setelah Nurcholish Madjid meninggal, di sebuah masjid kecil di Jalan Talang di Jakarta, seorang khatib berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan sebuah otoritas yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata Arab, ia mengucapkan sesuatu yang tak benar. Ia mengatakan bahwa wajah jenazah almarhum menghitam, kata sang pemberi khotbah ini, karena Nurcholish diazab Tuhan….

Saya tak tahu lagi apa peran sebuah khotbah. Saya tidak tahu apa peran dusta. Saya tidak tahu untuk apa fitnah—terutama dari sebuah posisi, tempat ayat suci dikutip, pesan Rasulullah diulang, dan yang benar dan yang adil diimbaukan berabad-abad.
Yang terasa bagi saya, khotbah itu adalah sebuah onggokan sampah. Sampah itu bernama kebencian: buangan dari zaman ini. Salah satu ciri zaman ini: iman menemukan saat-saat guyah, penuh cemas, dan genting—dan kebencian, biarpun berbau busuk—adalah sebuah mantra untuk menemukan kekuatan yang melenyapkan kerapuhan itu. Hidup di sebuah dunia yang tidak bisa mereka kendalikan, ada orang-orang yang merasa hanya patut beriman bila mereka tampil dengan wajah sengit. Marah terus-menerus kepada sekitar telah jadi semacam perisai, dan kata-kata telah jadi lembing. Chairil Anwar pernah menulis tentang para ”ahli agama dan lembing katanya”.
Ketika kata menjadi lembing, hidup menjadi perang yang percuma. Lawan dalam pikiran, sengketa dalam pendapat, bentrok dalam keyakinan, adalah bagian dari ketegangan yang tak pernah dapat diselesaikan dalam hidup. Tuhan tak bermaksud membuat perbedaan tak pernah ada. Ketika kata menjadi lembing, apa yang bisa dirobohkan? Apa yang bisa dibinasakan? Bahkan sejarah—dan dalam hal ini kita bisa berbicara tentang sejarah agama-agama—adalah sejarah pembantaian yang tak menyebabkan satu pihak menjadi benar dan diterima di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Syiah dan Sunni tak bisa saling melenyapkan, Katolik dan Protestan tak kunjung mampu saling meyakinkan.
Setiap usaha untuk meyakinkan sebenarnya membutuhkan tidak adanya ilusi. ”Tidak ada paksaan dalam agama,” demikian kata Quran: tidak ada kekerasan, dalam laku dan ucapan, yang akan dapat membuat keyakinan berubah. Kebenaran adalah hal yang selalu bergerak antara ”tertangkap-menangkap” dan ”terlepas-melepas”. Yang universal tampak sebagai kaki langit yang bila digapai selalu menjauh—tak henti-hentinya. Tiap konsensus mengandung ketidakbulatan. Manusia berpikir, berbicara, dan menafsir apa saja—juga Sabda Tuhan—senantiasa dalam waktu dan dalam cacat.
Bahwa tak ada pintu yang satu ke arah satu keyakinan agama pada akhirnya melahirkan kesadaran, bahwa tidak ada satu kepala yang bisa menentukan arah apa yang terbaik dari yang ada. Pemimpin dan khalifah berganti dengan atau tanpa dikecam. Bertahun-tahun kemudian, setelah pengalaman yang lama, demokrasi datang sebagai cara mengatasi kekosongan itu. Demokrasi adalah hal yang tak bisa diingkari jika kita sadar akan kefanaan. Demokrasi sebab itu bagian dari ketegangan, tapi ia tidak akan bisa berjalan dengan kebencian, jika kebencian membuat yang nisbi menjadi seakan-akan mutlak, tak berubah dan kekal.
Ada banyak peninggalan kearifan Nurcholish Madjid untuk orang Indonesia, dan salah satunya adalah bagaimana memahami dan menghadapi ketidak-kekalan. Ketika Golkar begitu dominan, ia memihak Partai Persatuan Pembangunan. Ketika di bawah Presiden Soeharto dan kekuasaannya pemilihan umum begitu kotor dan kasar, ia mendukung gagasan Komite Independen Pemantau Pemilu. Ketika pada tahun 1998 Soeharto akhirnya bertanya kepada sejumlah tokoh muslim tak lama sebelum ia turun takhta, Nurcholish juga yang mengatakan bahwa sang Presiden yang telah berkuasa sejak 1966 itu lebih baik turun. Yang berkuasa atau tidak, akan selalu bertemu dengan batas.
Ada hubungan yang tak selalu tampak antara kearifan tentang ketidak-kekalan manusia dan toleransi kepada iman dan pendapat orang lain. Kesulitan para penganut agama ialah ketika mereka menduga bahwa ketidak-kekalan mereka akan ditiadakan dengan ajaran yang kekal yang mereka anut. Yang mustahil dan yang mutlak memang sangat menggugah, tapi selalu ia di masa depan, dan masa depan juga tidak abadi. Nurcholish adalah guru tentang kerendahan hati.
Kerendahan hati adalah bagian terdalam dari hasrat berjabatan tangan. Kebencian selalu menjadi angkuh—tetapi kali ini angkuh itu menjadi angkuh karena sebenarnya ada yang membuat ragu, cemas, dan rapuh. Kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus asa, tapi sekalipun tanpa putus asa, ia tidak akan menyebabkan keyakinan-keyakinan berubah. Kekuatan sebuah firman tidak datang dari kata yang terhunus bagaikan lembing. Ya, Nurcholish adalah guru tentang kata-kata yang tidak menusuk, tidak berteriak.
~Majalah Tempo, Edisi. 28/XXXIV/05 – 11 September 2005~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar