Selasa, 08 Oktober 2013

Negeri Asal


Pembebasan datang dari yang tak punya nama.
Saya bayangkan ini: ketika dari kapal orang-orang Belanda memandang ke pantai di sebelah barat Jawa itu, mereka lihat sosok, corak rambut, warna kulit, dan jenis pakaian yang demikian tak tepermanai ragamnya. Kemudian mereka tinggal di bandar yang gerah dan terik itu. Sebuah ekonomi pengenalan berlaku: dalam pikiran mereka, manusia itu tersusun dalam perbedaan yang rapi. Lalu mereka memberi nama.
Maka mulailah klasifikasi manusia penghuni bandar itu—dan di situlah kolonisasi memasang tonggak dan pagarnya. Sekitar dua setengah abad kemudian, ketika kekuasaan serikat dagang VOC diteruskan oleh birokrasi yang mewakili Kerajaan Belanda di ”Hindia Timur”, ekonomi pengenalan berkembang jadi administrasi penamaan.

Tak jelas apa dasar penamaan itu. Ada yang mengatakan itulah usaha untuk menguasai dan sekaligus mengasingkan ”apa yang tak diketahui”, the unknown. Tapi tak dikatakan kenapa justru nama ”inlander”, ”timur asing”, dan ” Eropa” yang dipakai, bukan nama bahasa atau jenis pekerjaan.
Apa boleh buat. Penamaan mau tak mau bergantung pada sang penguasa bahasa atau bahasa sang penguasa. Seakan-akan berdasarkan sesuatu yang hadir di luar diri, penamaan adalah metonimi dalam kesewenangan. Kata ”inlander”, ”timur asing”, dan ”Eropa” merujuk tempat, tapi tempat belum tentu sama dengan ”asal”. ”Asal” berkait dengan masa lalu. Kenapa masa lalu dan bukan masa kini? Apa pula masa lalu itu: waktu ketika lahir, atau ketika dibesarkan? Bukankah masa lalu bisa kupilih, bukan cuma memilihku?
Pada 1935, Edgar du Perron menerbitkan novelnya, Het land van herkomst. Kata ”asal” dalam judul itu ambigu sebenarnya.
Du Perron lahir pada 1899 di Jatinegara, Jakarta, dan dibesarkan dalam keluarga kaya raya pemilik perkebunan, dengan darah campuran dan kaitan yang akrab ke kebudayaan lokal. Ketika Edgar berumur 22, orang tuanya menjual milik mereka dan balik ke Eropa, tanah leluhur. Mereka membeli sebuah kastil di Belgium dan tinggal dikelilingi pelayan dan kemewahan. Si Edgar yang tak kekurangan uang menggelandang bak seorang bohemian di lorong-lorong Paris, bergaul dengan Pascal Pia dan André Malraux. Pengarang Prancis ini kemudian memperuntukkan novelnya yang termasyhur tentang kaum revolusioner Cina, La Condition Humaine, kepada pemuda kelahiran Jawa itu.
Pada masa itulah Du Perron mulai mempertanyakan perilaku ayahnya sendiri, sang tuan besar dalam struktur masyarakat kolonial di Indonesia. Edgar mulai merasa dirinya bukan orang Eropa—meskipun selama di Hindia Belanda, ke dalam golongan itulah ia dan keluarganya dinamai.
Het land van herkomst dikisahkan oleh Ducroo, terutama sebagai seorang bocah. Bersama ayahnya, tuan onderneming itu, Ducroo menyukai novel yang mengungkapkan pedihnya perbudakan di Amerika itu, Uncle Tom’s Cabin—dengan simpati kepada si budak hitam dan benci kepada si tuan kulit putih, tanpa si ayah sadar betapa dekat posisinya dengan si pemilik budak yang kejam. Si anak menyaksikan sendiri bagaimana si ayah memukuli seorang petani, dan novel ini dibuka dengan menyebut orang Eropa ”bandit yang berniat sungguh-sungguh”.
Para bandit akhirnya tak bisa hidup sendiri. Ayahnya, yang melanjutkan gaya hidup seorang tuan besar kolonial di negeri yang berbeda, bunuh diri pada 1926, dengan harta ludes. Du Perron tertinggal miskin, tanpa pendidikan formal, menikah dan cerai dan menikah lagi, dan semua itu harus ia biayai. Ia terdesak. Pada 1936 ia ke Indonesia—dan dalam arti tertentu, ia ”kembali”.
Di negeri yang sedang hangat oleh gerakan nasionalis ini ia tak betah bergaul dengan kawan-kawan masa kecilnya: perilaku orang-orang Belanda itu persis seperti yang dibencinya sejak ia hidup di Paris. Di Jakarta (waktu itu masih Batavia), Du Perron memilih teman lain: sejumlah intelektual Belanda yang progresif dan orang-orang pergerakan untuk kemerdekaan. Suwarsih Djojopuspito, pengarang yang merekam hidup kaum pergerakan dalam novel Buiten Het Gareel, adalah salah satu di antaranya.
Tapi Du Perron tahu, dengan sedih, di masyarakat kolonial itu tak ada tempat baginya. Ia seorang sastrawan yang tak hendak percaya bahwa puisi bisa berarti bagi orang banyak. Ia menganggap pendirian S. Takdir Alisjahbana, yang ingin agar sastra bekerja untuk ”pembangunan bangsa”, sebagai sikap ”seniman serdadu”. Takdir menyerangnya balik.
Du Perron pun kembali ke Nederland. Sebelum pergi, ia berkata, ”Untuk berada di pihak yang benar, orang harus jadi seorang Indonesia. Saya mungkin akan tetap kritis, mengganggu, dan suka bertentangan, dengan kata lain, seorang individualis. Tapi saya juga akan jadi seorang nasionalis sampai ke ulu hati.”
Ia meninggal pada 1940, terkena serangan jantung, lima tahun sebelum perjuangan kaum nasionalis berhasil.
Kini, jika Anda bertanya, nama apakah yang bisa diberikan kepada Du Perron—”Eropa” atau ”inlander” atau ”timur asing”— tak akan ada yang pas buatnya. Ia bagian dari yang tak ternamai.
Sebenarnya demikian juga gerakan pembebasan nasionalis sejak sebelum Du Perron kembali ke Eropa. Pada 1908, sejumlah mahasiswa di Belanda yang datang dari ”Hindia” mendirikan Indische Vereniging, sebuah himpunan yang meniadakan penamaan yang ada dalam klasifikasi kolonial. Setelah itu, di Jakarta, Indische Partij didirikan Douwes Dekker pada 1912, untuk membangun ”patriotisme dari semua penduduk Hindia”, berdasarkan kesetaraan politik bagi orang dari ”ras” (atau nama identitas) yang berbeda-beda.
Artinya, bahasa yang berkuasa sedang dihapus. Politik pembebasan dimulai dari sebuah komunitas yang, seperti kata Alain Badiou, ada pada ”titik yang tak ternamai”.
Dari titik itu lahir ”Indonesia”. Ini mungkin sebuah nama, tapi yang pasti ia sebuah cita-cita.
~Majalah Tempo Edisi. 37/VI/31 Maret – 06 April 2008~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar