Adegan itu saya ingat sejak saya kanak-anak: kisah tewasnya Aryo Penangsang, adipati dari Jipangpanolan, dalam perang tanding melawan Sutawijaya.
Sebenarnya Sutawijaya tak membunuhnya. Pada suatu saat anak muda itu memang berhasil menusukkan tombaknya ke lambung Penangsang. Adipati ini pun terlontar dari kuda dengan perut robek dan usus terburai. Tapi ia sakti, ia segera bangkit lagi. Dengan tenang ia lilitkan ususnya yang berlumur darah itu ke sarung kerisnya. Namun dengan itulah ajal datang. Ketika ia hunus senjatanya yang termasyhur untuk menikam Sutawijaya, usus itu tertoreh. Putus. Penangsang pun rubuh sekali lagi. Mati.
Saya ingat adegan itu sering dihidupkan kembali di panggung ketoprak sebagai klimaks pementasan. Lalu lakon akan usai menjelang larut malam, dan orang pun pulang mengenang akhir tragis adipati Jipang itu—seorang kharismatis yang pemberang dan brutal, dengan kudanya yang gagah, Gagak Rimang, dengan kerisnya yang bertuah, Setan Kober, tapi akhirnya kalah. Pesaing dalam perebutan takhta Kesultanan Demak abad ke-16 itu tak pernah jadi raja di Jawa.
Ketoprak—yang digemari pelbagai lapisan masyarakat Jawa—adalah sebuah teater ingatan. Di pentasnya orang memanggil masa lalu: fragmen sejarah sejak Mataram Hindu sampai dengan Mataram Islam, sejak Majapahit di abad ke-13 sampai dengan Kartasura di abad ke-17.
Cerita Aryo Penangsang termasuk dalam sejarah akhir Kerajaan Demak. Saya tak tahu kenapa adipati ini yang jadi tokoh di panggung; mungkin riwayatnya dramatis dan wataknya penuh warna, dan itu memenuhi syarat buat sebuah lakon yang memukau, seperti Richard III dalam teater Shakespeare. Sebab dalam sejarah Jawa, Penangsang sebenarnya hanya sosok yang cepat hilang di pinggir medan perubahan politik yang besar.
Justru tokoh abad ke-16 adalah Sutawijaya. Bermula ia cuma seorang pendekar muda di bawah perintah Mas Karebet, orang yang kemudian jadi raja di Pajang dalam pergulatan kekuasaan di Jawa abad ke-16. Tapi ternyata kemudian Sutawijayalah yang jadi pendiri Mataram Baru dan memulai dinasti yang bertakhta sejak 1586 hingga sekarang. Dialah—yang kemudian bergelar Panembahan Senapati—yang di abad ke-19 dalam kitab Wedhatama dianggap sebagai tauladan ”laku utama” bagi orang Jawa.
Legenda mengisyaratkan, ia datang dari keluarga petani. Ia putra Ki Ageng Pemanahan yang bernasib mujur karena kebetulan meminum air kelapa ajaib yang menyebabkannya jadi cikal-bakal para raja. Dengan kata lain, biografinya dibangun dari sesuatu yang di luar hubungan sebab-dan-akibat. Dalam adegan kematian Aryo Penangsang, di saat yang menentukan, Sutawijaya justru bukan pelaku yang menentukan.
Tampaknya selalu ada dua sisi yang tergambar dalam tokoh ini. Sutawijaya seorang pemberani; nyalinya cukup besar buat datang menghadapi Aryo Penangsang yang jauh lebih ulung dalam perang tanding. Beberapa tahun kemudian, setelah ia diangkat jadi yang dipertuan di Mentaok, karena jasanya menyingkirkan Penangsang, Sutawijaya juga yang berani menentang Sultan Pajang yang semula disembahnya. Pajang akhirnya tak berdaya, dan di tahun 1584 Mataram berdiri. Dalam hal seperti ini Sutawijaya punya sisi hidup yang lain: ia selalu tampak diberkahi.
Di Yogyakarta, di mana sebutan ”Mataram” tetap sebuah kebanggaan, masih ada jejak berkah itu. Sekitar 10 kilometer ke arah selatan ada tempat bernama Bambang Lipura. Di sanalah konon Sutawijaya muda menerima wahyu ”lintang johar” dari Tuhan.
Tampak, pendiri Mataram ini sering dikaitkan dengan yang sakral. Di situlah Wedhatama menarik: di dalam kitab ini, yang sakral itu ditampilkan sebagai yang meluluhkan yang profan—kekuatan yang lahiriah, yang jasmani dan duniawi.
Kitab Wedhatama, yang tak putus-putusnya dibaca dan ditembangkan di ruang keraton, di tepi sawah, dan di emper toko, menggambarkan Panembahan Senapati sebagai orang yang gemar berkelana di waktu sepi, tahan tak makan dan tak tidur, ingin mencapai ”hati yang hening”, ingin mardawa ing budya tulus (”bersikap halus, sabar, dan tulus dalam menggunakan pikir”). Dilukiskan pula Senapati selalu berbicara lembut kepada sesama, dan siang-malam menumbuhkan rasa yang nyaman di hati orang lain.
Mungkin deskripsi itu tak sesuai dengan sejarah. Tapi yang penting, syair itu berniat menonjolkan Senapati bukan sebagai penakluk—meskipun ia, lewat pertentangan dan kekerasan, jadi penguasa yang paling kukuh di Jawa. Ia tak menaklukkan liyan, ia tak memperhamba manusia lain dan dunia di luar dirinya. Bahkan laut di Selatan itu ia jadikan pendamping (itulah makna mitologi tentang Ratu Kidul yang dipersuntingnya), justru ketika luasnya samudra seakan-akan dapat digenggamnya dalam tangan, dalam diri, dalam hati:
Kinemat kamot ing ndriya
Rinegam sagegem dadi
Dengan kata lain, ia jauh dari bagian dunia yang profan—dunia tempat manusia mengalahkan yang lain. Penaklukan tak ada hubungannya dengan berkah yang tak terduga-duga, tak ada hubungannya dengan wibawa yang hening dalam mysterium-nya. Kekuasaan yang kasar tampak begitu sepele ketika disandingkan dengan yang sakral, yang mungkin disebut Hidup, di mana berkah bekerja.
Kitab Wedhatama ingin mengajarkan pengetahuan tentang agama ageming aji, ”agama mereka yang luhur”. Tapi karena Senapati adalah tauladannya, ”pengetahuan” dan ”agama” itu tak sama dengan kepintaran berkhotbah di masjid dan memperketat syariat—sesuatu yang oleh Wedhatama dicemooh sebagai pameran kekuatan lahiriah.
Bagi Wedhatama, ”agama” yang luhur adalah agama yang biasa ”menyampaikan kabar yang ramah”, mamangun marta martani: kabar yang tergetar oleh yang sakral. Di sanalah Panembahan Senapati adalah si Sutawijaya yang bersyukur dan menyadari diri sebagai bagian nasib yang tak terduga-duga, sejak Aryo Penangsang tewas tanpa ia membunuhnya.
~Majalah Tempo Edisi. 04/XXXIIIIII/19 – 25 Maret 2007~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar