Lelucon menentang yang lurus dan yang lumrah. Di panggung atau di layar televisi, Asmuni atau Kirun menimbulkan gelak karena yang lurus dibengkokkan, yang lumrah dibelokkan. Itu sebabnya dalam adegan Srimulat para pembantu rumah tangga—yang dalam latar sosial Jawa mesti seakan-akan tak tampak tapi bekerja patuh di depan para tamu—bukan saja menonjol, tapi malah mempermainkan sang majikan. Etiket runtuh. Penonton tertawa.
Dalam film bisu awal abad ke-20, Charlie Chaplin melawan ketertiban dengan jadi si gelandangan kontet yang dengan celana yang terlalu besar mengacaukan agen polisi. Dalam gaya yang lebih kasar, dalam bentukslapstick, film-film Abbot dan Castello menggunakan tubuh sendiri sebagai sasaran kekacauan: kepala yang dipukul penampan, wajah yang dilumuri kue tart, badan yang jatuh. Dalam film kartun Tom & Jerry, palu dan dinamit dipakai buat menekankan efek lucu.
Ada yang ganas dalam tiap canda. Mungkin sebab itu dari vaudeville di panggung murah sampai dengan tingkah laku lucu di layar putih Hollywood, Marx Bersaudara disambut sebagai badut-badut yang jitu karena di tiap gerak dan suara mereka ada sesuatu yang nyrempet-nyrempet bahaya—sesuatu yang tak dikenal di alam kelas menengah yang makin rapi. Tokoh teater Prancis yang kemudian gila, Antonin Artaud, menyambut lelucon Marx Bersaudara sebagai “penghancuran semua kenyataan yang ada dalam pikiran”.
Tak mengherankan bila film mereka (misalnya Duck Soup, Horse Feathers) dipuja kembali di Amerika di tahun 1960-an, sebuah zaman ketika generasi muda sedang memberontak. Film-film itu dibuat di tahun awal 1930-an, sebelum Hollywood ditertibkan oleh kode etik perfilman yang menuntut agar layar putih mencerminkan selera “orang baik-baik”—sebuah sikap konservatif yang menyebabkan kehidupan pribadi yang “menyimpang” juga harus disembunyikan. Ingrid Bergman yang datang dari Swedia itu disisihkan Hollywood lantaran ia hamil di luar nikah. Rock Hudson yang homoseksual bukan saja harus berperan sebagai seorang pria yang menyukai perempuan, tapi dalam hidup sehari-harinya dia harus menikah dengan seorang wanita. Menjelang tata yang mengungkung itu berlaku, di pertengahan 1930-an, Groucho Marx dan saudara-saudaranya justru mengharu-biru setiap baris yang mapan.
Tapi sejauh mana? Pertanyaan ini memang biasa dimajukan terhadap setiap pembebasan. Yang lurus dan yang lumrah kian lama kian bisa mencekik, tetapi bisakah hidup terus-menerus harus berupa letupan lucu?
Beberapa tahun yang baru saja lalu, para pemikir mengecam modernitas sebagai sesuatu yang sangat terarah dengan fokus untuk menguasai dunia. Sebagai alternatif, tulisan-tulisan Mikhail Bakhtin disambut. Bakhtin mengumandangkan apa yang disebutnya sebagai “karnaval”. Yang spontan, tak terduga, bebas, menjadi antitesis bagi semua usaha yang hanya menuntut efisiensi, efektivitas, kemanfaatan.
Dalam arti tertentu, ini juga sebuah protes kepada hidup yang seperti persegi empat: hidup yang semua sisinya sama, semua sisinya jadi batas, semua sisisnya sudah bisa diduga. Marshal MacLuhan mungkin mengungkapkan ini ketika ia mengatakan, dalam sebuah pidato di tahun 1969, “Jokes are grievances“: lelucon adalah keluhan. Sadar atau tak sadar, kita mengeluh kepada beban sebuah dunia yang persegi empat, dan kita melucu.
Tapi Indonesia kini mungkin justru tak sangat membutuhkan itu. Humor memang bagus untuk menghadirkan sebuah sikap yang lebih leluasa dan tanpa hierarki—dan ini sangat penting bagi sebuah republik yang selama 32 tahun dipimpin oleh seorang bekas jenderal yang meskipun sering tersenyum, di balik senyum itu orang lain cemas karena tampaknya si Boss ada “maksud”. Humor justru bisa membuka hubungan manusia menjadi tanpa maksud yang tertentu. Tapi pada sisi lain humor juga bisa dipakai untuk menampik apa yang terarah dan berfokus. Di bawah kepresidenan Gus Dur, bahkan lelucon tampaknya telah jadi cara melepaskan diri dari tuntutan dan bantahan. Jika Anda datang ke Presiden Republik Indonesia yang ke-4 dan mengutarakan kritik atau saran, Anda tak akan diberangus. Tapi Anda akan dijawab dengan penggeli hati—dan semua arah awal pembicaraan pun buyar.
Dalam hal ini, Gus Dur boleh dikatakan seorang Marxis: ia mengikuti gaya Groucho Marx dan saudara-saudaranya. Tentu saja dengan jauh lebih cerdas. Tapi saya pernah mendengar seorang wartawan Inggris yang berkata: “Seandainya ekonomi Indonesia bisa ditolong dengan mengeskpor lelucon, Gus Dur akan berhasil.”
Sayangnya lelucon tak sama dengan barang non-migas, dan seperti dalam canda Marx bersaudara, ada yang ganas di sana: keganasan mencemooh semua niat untuk efisien dan efektif, keganasan untuk menafikan keharusan mempunyai rencana. Hidup di Indonesia, kita tahu, tak semuanya sebuah karnaval ala Bakhtin, ketika banyak orang mati dan jutaan manusia cemas. Bahkan bagi seorang badut pun kita harus meminta jeda. Seorang perempuan konon pernah mendengar lelucon Groucho selama tiga hari tanpa putus. Merasa tak bisa lagi bicara dan tukar-menukar pikiran, ia pun berteriak: “Please, Groucho, stop! Let’s have a nice quiet normal conversation.”
Agaknya kita juga harus berteriak yang sama kepada Presiden: kita perlu percakapan yang tenang, enak dan, maaf, produktif.
~Majalah Tempo, Edisi. 19/XXIX/10 – 16 Juli 2000~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar