Selasa, 08 Oktober 2013

Langka




Pada mulanya bukanlah Langka. Tiap ekor hewan yang mati disembelih untuk korban adalah lambang pemberian yang tak hendak dibalas. Ibrahim bersedia membunuh anak yang dicintainya untuk Tuhan yang tak diharapkannya memberi sesuatu. Di hari itu Tuhan tak berjanji apa-apa. Dan seandainya pun ada kontrak bahwa pengorbanan itu akan mendapatkan imbalan, akankah itu punya arti bagi Ibrahim, setelah anak itu mati?

Pengorbanan adalah ”memberi”. Di dalamnya, waktu tak terulangi. Seperti yang dilakukan Ibrahim, kata kuncinya adalah ”ikhlas”. Tak ada pengharapan akan adanya pembalasan kelak. Baginya, tak ada ”kelak”. Waktu tak diperlakukan sebagai lingkaran dengan ujung yang akan bertaut kembali. Seperti dikatakan Derrida, bila waktu-sebagai-lingkaran amat penting dan menentukan, pemberian akan jadi sesuatu yang ”mustahil”. Yang terjadi adalah pertukaran antara jasa dan jasa atau jasa dan benda.
Kapitalisme membuat pertukaran jadi paradigma. Sumbangan besar Marcel Mauss dengan telaah antropologinya dalam Essai sur le don di tahun 1925 adalah melihat bahwa dalam kehidupan bersama ada proses lain yang penting: ”memberi”.
Dalam pemberian, benda berpindah tangan tanpa berdasarkan kontrak. Tersirat dalam kontrak adalah pembatasan: dalam kepercayaan, dalam solidaritas, dalam waktu. Ketika kita ”memberi”, batas itu tak ada. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga. ”Memberi” mengandung premis bahwa ada yang turah, apalagi waktu, dalam hidup. ”Memberi” tak mengenal Langka.
Tapi hidup kian ribut oleh Langka dan manusia cemas. ”Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba, dari mana orang menghimpun—dan menghimpun adalah cara menghadapi sebuah kelak yang masih akan dirundung Langka.
Bahkan sindrom Langka begitu kuat hingga masuk ke dalam wilayah di mana orang mencoba meniru jejak Ibrahim tapi tak bisa lagi memberi. Di sini pun cemas tak kalah akut, juga keserakahan yang terbit dari kecemasan itu. Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan.
Dengan kata lain, beribu tahun setelah Ibrahim, hubungan manusia dengan Tuhan akhirnya juga jadi proses pertukaran yang dikalkulasi. Manusia menyembah Tuhan dengan mesin hitung pahala yang dipegang dengan waswas: jangan-jangan Tuhan selalu kekurangan. Orang pun berlomba-lomba melipatgandakan ibadat dan jumlah umat, memamerkan masjid, gereja dan kealiman.
Ada keserakahan yang menyusup di situ, tapi kita tak bisa mengatakan, Rakus, yang lahir dari sindrom Langka, adalah sifat manusia yang mendasar. Ia dibentuk sejarah.
Dalam sebuah wawancara, Bernard Lietaer, pengarang The Future of Money: Beyond Greed and Scarcity, menawarkan satu teori yang diambilnya dari psikoanalisis Jung: 5.000 tahun sebelum zaman ini, manusia di Barat menyimpan ”Bunda Agung” sebagai archetype, sebagai citra yang terawat dalam jiwa individual maupun kolektif yang menggerakkan orang ke suatu arah tertentu. Dalam Sang ”Bunda Agung”—agaknya sama dengan Ibu Pertiwi—ada citra tentang kesuburan yang berlimpah dan karunia yang rela dan pemurah. Tapi archetype itu kemudian tersingkir oleh citra Tuhan sebagai Bapa yang membatasi manusia dengan hukum dan pembalasan. Lima ribu tahun lamanya Sang Bunda Agung tenggelam. Ketika manusia tak percaya lagi akan kedermawanan semesta, muncullah bayangan Langka dan Rakus.
Puncaknya, kata Lietaer, terjadi di masa puritanisme Inggris. Di masa itulah Adam Smith merumuskan pemikirannya tentang ekonomi: pada mulanya adalah Langka, dan Langka pun jadi gerak, dan gerak menuju ke kekayaan. Ekonomi berjalan dari premis itu. Apalagi dari Langka pula lahir nilai. Ketika kemudian yang berkuasa adalah ”nilai tukar”, uang dan bank pun kian berperan. Bank, yang memproduksi uang, sekaligus membuat uang sebagai sesuatu yang terbatas jumlahnya. Dengan memberikan pinjaman seraya memungut bunga, bank akan memperoleh lebih banyak uang tanpa ia harus memperbanyak uang yang beredar.
Bagi Lietaer, (ia pernah bekerja di bank sentral Belgia), uang dan sistem peredarannya itulah yang membuat Langka dan Rakus ”terus menerus diciptakan dan diperbesar”. Bank Sentral, yang merawat langkanya uang dengan menjaga suku bunga, secara tak langsung menguntungkan mereka yang menyimpan uang di bank. Investasi di sektor riil jadi tak selalu memikat—terutama ketika dana bisa dengan cepat melintasi batas nasional dalam rangkaian pinjam meminjam dengan bunga berbunga. Lapangan kerja makin sedikit. Ketimpangan pun menajam, seperti di Indonesia kini, dan kita tahu apa akhirnya bagi sebuah bangunan politik.
Lietaer mencoba menawarkan alternatif. Ia menganjurkan pemakaian uang lokal dan menyebut sistem Silvio Gesel di tahun 1890: dalam sistem ini si penyimpan uang bukannya mendapatkan bunga, melainkan harus membayar ongkos simpan kepada pemerintah. Dengan demikian, bank tak memberi kesempatan bagi si kaya untuk bertambah kaya seraya tidur.
Tapi mungkinkah pemikiran alternatif itu akan disambut? Mungkin, tapi entah kapan. Uang, seperti kata Lietaer, telah jadi sebuah cincin besi yang dipasang di cuping hidung manusia, dan menyeret manusia ke mana saja—juga ke arah menajamnya Langka dan kehancuran sosial.
Sejauh ini, kita masih terhibur, sebab ”memberi” masih tetap mungkin. ”Memberi” membebaskan manusia dari cincin besi itu, yang mengikatnya, kata George Bataille, di dalam ”keadaan yang tak hidup dari dunia yang profan”. Hanya dalam memberi, dalam berkorban, orang menemukan sesuatu yang suci, justru dalam tak adanya faedah.
Mungkin seperti Ibrahim di Moriah: ia tak tahu apa faedah perbuatannya bagi dirinya sendiri atau bagi Tuhan, tapi di saat ia membebaskan diri pamrih, ia tak terperangkap oleh Rakus, mengatasi rasa takut akan Langka di ”dunia yang profan”.
~Majalah Tempo Edisi. 44/XXXVI/24 – 30 Desember 2007~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar