Agama akan tetap bertahan dalam hidup manusia, tapi layakkah ia dibela?
Christopher Hitchens baru-baru ini menarik perhatian ketika bukunya terbit dengan judul God Is Not Great: Religion Poisons Everything. Penulis Inggris ini—yang yakin bahwa Tuhan tidak akbar dan bahwa agama adalah racun—tak bersuara sendirian di awal abad ke-21 ini. Di tahun 2004 terbit The End of Faith, oleh Sam Harris, yang tahun lalu mempertegas posisinya dengan menyerang agama Kristen dalam Letter to a Christian Nation. Yang juga terkenal adalah karya Richard Dawkins, seorang pakar biologi, The God Delusion, yang mengutip satu kalimat pengarang lain: ”Bila seseorang menderita waham, gejala itu akan disebut gila. Bila banyak orang menderita waham, gejala itu akan disebut agama.”
Saya belum khatam membaca buku-buku itu, tapi saya telah merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira. Baiklah saya jelaskan kenapa saya gembira: kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.
Apalagi ada benarnya ketika Christopher Hitchens bicara tentang iman dan rasa aman. Sepekan sebelum 11 September 2001, hari yang bersejarah itu, ia ditanya dalam sebuah wawancara radio: ”Bayangkan Anda berada di sebuah kota asing di waktu senjakala, dan sejumlah besar orang datang ke arah Anda. Akan lebih merasa amankah Anda, atau justru merasa kurang aman, bila Anda tahu orang-orang itu baru selesai berkumpul untuk berdoa?”
Hitchens, yang pernah berada di Belfast, Beirut, Bombay, Beograd, Bethlehem, dan Baghdad, menjawab, ”Kurang aman.”
Ia tak bicara dari khayal. Ia telah menyaksikan permusuhan antara orang Katolik dan Protestan di Ulster; Islam dan Kristen di Beirut dan Bethlehem; orang Katolik Kroasia dan orang Gereja Ortodoks Serbia dan orang Islam di bekas Yugoslavia; orang Sunni dan Syiah di Baghdad. Beribu-ribu orang tewas dan cacat dan telantar.
Maka bagi Hitchens, agama adalah ”sebuah pengganda besar”, an enormous multiplier, ”kecurigaan dan kebencian antarpuak”.
Tapi menarik bahwa Hitchens tak menyatakan agama sebagai sumber sikap negatif itu.
Dalam hal ini ia berbeda dari Sam Harris. Bagi Harris, konflik antara umat Katolik dan Protestan yang berdarah di Irlandia—yang bermula baru di abad ke-17—bersumber pada teks Alkitab, tak ada hubungannya dengan politik pertanahan di wilayah kekuasaan Inggris masa itu. Harris tak melihat endapan sejarah dalam tiap tafsir atas akidah—dan dalam hal ini ia mirip seorang fundamentalis Kristen atau Islam. Pandangannya yang menampik sejarah akan bisa mengatakan bahwa doktrin Quran itulah yang membuat sejumlah orang menghancurkan Menara Kembar New York dan membunuh hampir 3.000 manusia pada 11 September 2001. Harris tak akan melihat bahwa hari itu ”Islam” identik dengan amarah karena ada kepahitan kolonialisme di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dan kekalahan dunia Arab di Palestina.
Dari sini, memang ada benarnya apologi yang terkenal itu: bukan agamanya yang salah, melainkan manusianya.
Tapi persoalan tak selesai di situ. Orang-orang atheis semacam Hitchens akan bertanya: Jika faktor manusia yang menyebabkan keburukan tumbuh dalam suatu umat, berarti tak ada peran agama dalam memperbaiki umat itu. Jika demikian, jika akidah ditentukan oleh sejarah, dan bukan sebaliknya, apa guna agama bagi perbaikan dunia?
Mungkin sebuah nol. Bahkan melihat begitu banyak pembunuhan dilakukan atas nama agama hari-hari ini, orang memang mudah sampai kepada atheisme Hitchens dan kesimpulannya: agama meracuni segala hal.
Tapi kita dapat juga sampai pada kesimpulan yang lain: jangan-jangan agama memang tak punya peran bagi perbaikan dunia. Perannya memang bisa lain sama sekali—terutama bila dilihat dari awal lahirnya agama-agama.
Dalam ceramahnya yang diselenggarakan oleh MUIS (Majlis Ugama Islam Singapura) bulan Juni yang lalu, Karen Armstrong mengatakan sesuatu yang tak lazim: agama lahir dari sikap jeri (recoil) atas kekerasan. Juga Islam, yang kini tak urung dihubungkan dengan bom bunuh diri, konflik berdarah di Irak, Afganistan, dan Pakistan. Agama ini hadir sebagai pembangun perdamaian di sekitar Mekah, di tengah suku-suku Arab yang saling galak.
Tapi mungkin juga Karen Armstrong bisa menelusurinya lebih jauh: jika agama memang lahir dari rasa jeri akan kekerasan, rasa jeri itu bertaut dengan kesadaran akan ketakberdayaan. Agama sebab itu tak merasa kuasa untuk memperbaiki dunia; ia justru berada di kancah yang tersisih, menemani mereka yang daif—sebuah posisi yang kian tampak dalam keadaan manusia teraniaya.
Tapi kini, dalam mencoba menyaingi gagahnya modernitas, agama cenderung melupakan ”empati asali”-nya sendiri. Orang-orang Islam merayakan Hijrah bukan dengan rasa setia kawan dan bela rasa kepada mereka yang diteror, walaupun Hijrah bermula dari nasib sekelompok minoritas yang dikejar-kejar. Orang merayakan Hijrah lebih sebagai kemenangan. Mungkin dengan tendensi itu, pengalaman kedaifan sendiri terlupa: pekan lalu atas nama ”Islam” orang-orang mengancam para biarawati Karmel yang hendak berkumpul untuk berdoa di lembah Cikanyere di wilayah Cianjur.
Dalam keadaan lupa kepada yang tak berdaya itulah agama bisa jadi tenaga yang dahsyat. Tapi ia juga bisa jadi tenaga yang tak tahu batas. Di saat seperti itu, bukankah para atheis perlu datang dan bersuara?
~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli – 05 Agustus 2007~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar