Selasa, 08 Oktober 2013

Bolong



Harapan menggerakkan kita dengan bahasa yang tak jelas. Seakan-akan di sekitarnya ada sebuah lubang verbal—bolong yang diterobos oleh sesuatu yang tak terkatakan. Seperti yang terjadi pagi itu, 18 Desember 1989, di kota Timisoara di Rumania sebelah timur, dekat perbatasan negeri itu dengan Yugoslavia.

Peristiwa ini dimulai dengan keputusan pemerintahan Presiden Ceausescu untuk mengusir seorang pendeta asal Hungaria yang telah bicara terus terang tentang keburukan kediktatoran Rumania. Ia tampaknya seorang rohaniwan yang dicintai jemaatnya, hingga hari itu mereka berkumpul di sekitar apartemennya, berjaga agar bapak pendeta tak digusur dengan kekerasan.
Berangsur-angsur, banyak orang yang bergabung. Yang mereka dengar ialah bahwa rezim komunis yang bertakhta di Bukares itu sekali lagi bermaksud membatasi kemerdekaan beragama. Satu kelompok besar manusia pun berhimpun—suatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya di Rumania. Mereka berharap, meskipun tak jelas berharap apa.
Dalam beberapa jam, polisi dan pasukan agen rahasia Securitate sudah mengepung tempat itu. Tapi tahun 1989 adalah tahun perubahan besar di Eropa Timur. Kurang sebulan sebelum protes di Timisoara itu, Tembok Berlin runtuh, dan sejak 9 November satu demi satu kekuasaan Partai Komunis guncang atau rontok. Perlindungan Uni Soviet tak diberikan lagi kepada para penguasa yang dibenci rakyat itu. Tapi pemerintahan Ceausescu tak menyadari bagaimana rapuhnya dirinya. Ketika suara protes kian galak, para petugas keamanan bertindak dengan gas air mata, semburan air, pukulan, dan juga penangkapan.
Hanya sebentar berhasil. Malamnya rakyat berkumpul di sekitar Katedral Ortodoks Rumania. Dari sini aksi menjalar. Dan esok harinya, 17 Desember, massa menyerbu masuk Komite Distrik Partai Komunis. Mereka buang dokumen, brosur propaganda, dan karya-karya Ceausescu.
Ketika mereka coba bakar gedung itu, muncul tentara Rumania—dengan panser, tank, helikopter, dan bedil. Tembakan terdengar, korban jatuh. Untuk beberapa jam para demonstran mundur. Pagi 18 Desember, menembus kepungan pasukan keamanan, 30 pemuda maju ke arah Katedral, menyanyikan ”Desteapta-te, române!” (Bangunlah, Bangsa Rumania!), sebuah lagu nasional yang dilarang rezim komunis sejak tahun 1947. Mereka mengibarkan bendera Rumania—tapi sebuah bendera yang berlubang, karena lambang Partai Komunis yang semula terpacak di tengah sang saka itu telah digunting dan dicampakkan.
Akhirnya revolusi antikomunis itu tak dapat dipadamkan lagi, meskipun para pemuda itu ditembaki dan beberapa orang tewas dan luka-luka. Keberanian menjalar ke seluruh republik, sampai akhirnya Ceausescu dan istrinya terpojok dan ditembak mati para pemberontak.
Rumania pun berubah. Demokrasi menang.
Syahdan, kini, di Museum Militer di Bukares, terpasang selembar bendera yang dibawa 30 pemuda di hari bersejarah di Timisoara: bendera yang bolong.
Tapi bolong itu bukanlah sesuatu yang hampa: ia justru melambangkan harapan dan juga rasa tak puas yang begitu luas dan meluap-luap, hingga apa yang simbolik tak menampungnya lagi. Saya teringat yang dikatakan Slavoj Zizek dalam Tarrying with the Negative tentang lambang pembangkangan rakyat Rumania itu: ”Antusiasme yang menggerakkan mereka secara harfiah adalah antusiasme terhadap lubang ini.” Sebab lubang itu belum diisi oleh agenda politik apa pun, belum direbut maknanya oleh proyek ideologis yang mana pun. Kita ingat: kemarahan yang bermula dari terusirnya seorang pendeta Protestan juga akhirnya menjalar menemukan tempat perlawanannya di katedral Gereja Ortodoks. Protes yang berawal dari sekelompok jemaat, akhirnya jadi seruan, ”Bangunlah, Bangsa Rumania!”
Dengan kata lain, bolong itu mengisyaratkan bahwa harapan belum diringkas dan diberi bentuk oleh sebuah kerangka makna.
Perebutan untuk memberi kerangka makna kepada ”penanda yang kosong” itulah—jika kita pakai argumen Laclau yang terkenal—yang menggerakkan politik. Memang pada suatu tahap, akan ada yang memegang hegemoni, akan ada satu nama, satu identitas, yang punya kuasa dan wibawa buat jadi pengisi bolong itu. Tapi sejarah menunjukkan, politik tak akan berakhir. Hanya sebuah ilusi besar untuk mengira bahwa lubang itu akan lenyap. Kaum liberal atau kaum kiri, kaum sekuler atau kaum agama, mau tak mau harus menghadapi kenyataan bahwa mereka akhirnya tak akan mampu mewakili sepenuhnya harapan rakyat yang tak 100% terkatakan itu, yang dilambangkan dengan bagus di lembar bendera di museum di Bukares itu: ada identitas nasional yang diutarakan, tapi pada dirinya ada sebuah lubang.
Saya teringat akan bendera Merah Putih yang dikibarkan di Hotel ”Oranje” di Surabaya pada bulan September 1945: bendera itu juga lahir dari tindakan mencopot bagian yang tak dikehendaki dari tubuhnya. Tapi tak ada yang bolong yang menganga di sana. Identitas seakan-akan kian tegas: ini merah-putih, bukan merah-putih-biru.
Mungkinkah sebab itu revolusi Indonesia sering membuahkan salah sangka? Kita sering mengira kita adalah bangsa yang sudah jadi, lengkap, selesai mengartikulasikan diri—bahkan Muhammad Yamin pernah berteori bahwa Merah Putih sudah berumur 1.000 tahun sampai saat ia dikibarkan di abad ke-20.
Tapi sejarah Merah Putih di Surabaya itu bukanlah sejarah mengulang yang telah pasti dan ajek. Yang terjadi hari itu adalah tindakan kreatif yang berani—sebuah laku yang di tengah ketakpastian mengubah kondisi yang tersedia jadi sesuatu yang baru dan berarti. Seperti sepotong puisi.
Tapi kita tahu puisi tak henti-hentinya ditulis. Kata dan artikulasi yang siap kemarin tak lagi menampung getaran hati yang meluap hari ini. Maka klise pun ditanggalkan, percakapan kembali disegarkan—sebuah metafor lain bagi ikhtiar terus-menerus untuk ”mengisi kemerdekaan”.
~Majalah Tempo Edisi. 40/XXXVI/26 November – 02 Desember 2007~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar