Pulang adalah sepatah kata kerja yang bertuah. Berapa juta manusia bersedia berdesak-desak, menanggung panas dan rasa tak nyaman dan risiko celaka, luka, dan mati, dalam sebuah ritual raksasa tiap tahun yang disebut ”mudik”?
”Mudik”, sebagaimana ”pulang”, adalah pengertian ruang, tapi juga waktu. ”Pulang” berarti kembali ke tempat asal, ke titik di bumi dari mana aku berangkat, dulu.
Kini ritual itu kian dikukuhkan. Negara dan pasar menyesuaikan langkah dengan gegap-gempita: jawatan perhubungan, dinas kepolisian, perusahaan transportasi, pelayanan telepon…. Bila para peneliti sosial kini bicara tentang orang Indonesia yang semakin konservatif, ”pulang” adalah salah satu indikasinya.
Pernah ”pulang”, gerak ke masa silam, tak dianggap sebagai bagian dari zaman. Pernah hidup digerakkan gelora modernitas. Pada tahun 1930-an, S. Takdir Alisjahbana, pelopor Pujangga Baru itu, menulis sebuah sajak yang juga sebuah manifesto modernitas: temanya bukan pulang, melainkan pergi.
”Telah kutinggalkan engkau,” bisik Takdir kepada teluk teduh tempat asalnya. Dalam sajak yang terkenal itu ia putuskan untuk meninggalkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sang penyair memilih laut luas tanpa proteksi: ia bebas, sebab itu ia berani menghadapi mara bahaya dalam ketakpastian cuaca.
Di masa itu, dalam semangat itu, ”pulang” adalah arus balik ke tradisi. Tradisi mengandung tuntutannya sendiri. Modernitas adalah pembangkangan: ada anak yang hilang.
Tentu ada juga luka. Tentu ada rasa bersalah ketika seorang anak tak hendak kembali dan ada rasa sakit ketika seutas akar dilepaskan. Tapi ”tak-pulang” adalah kondisi zaman. Bila pulang kini jadi ritual, dulu pergi adalah sebuah ritus. Hanya seorang yang disunat yang jadi dewasa.
Sajak Sitor Situmorang, Si Anak Hilang, dengan memukau melantunkan kembali melankoli kehilangan dalam ritus itu—ketika si anak muda pulang dari Eropa, menemui ibunya yang rindu dan dusunnya yang ingin tahu, tapi ternyata tetap ada yang putus. Saya kutip bagian akhir sajak itu:
Si anak hilang kini kembali
tak seorang dikenalnya lagi
berapa kali panen sudah
apa saja telah terjadi?Seluruh desa bertanya-tanya
sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
ia lebih hendak bertanyaSelesai makan ketika senja
ibu menghampiri ingin disapa
anak memandang ibu bertanya
ingin tahu dingin EropaAnak diam mengenang lupa
dingin Eropa musim kotanya
ibu diam berhenti berkata
tiada sesal hanya gembiraMalam tiba ibu tertidur
bapa lama sudah mendengkur
di pantai pasir berdesir gelombang
tahu si anak tiada pulang
Kita lihat, Sitor kembali menggunakan bentuk syair lama, bukan sajak bebas, tapi berbeda dengan sastra tradisional, dalam Si Anak Hilang terasa sebuah dunia subyektif yang intens. Anak muda itu berdiam diri, karena di kepalanya berlintasan ”dingin Eropa” yang belum sepenuhnya ia lupakan. Anak muda itu tak bicara, karena di hatinya ia menjauh dari suara di sekitarnya, juga suara kangen sang ibu.
Ada sikap mendua yang murung dalam sajak Sitor. Tapi pada akhirnya hanya gelombang yang berdesir yang tahu bahwa ia memang anak yang hilang. Gelombang: di pantai pasir itu ia datang dari jauh, tapi segera kembali ke laut. Kita tak tahu dari mana gelombang berasal, ke mana ia menghilang.
Dari mana sebenarnya kita berasal? Di tiap zaman selalu terdengar seruan agar kita ingat akan akar kita. Yang sering dilupakan adalah bahwa asal dan akar bukan sesuatu yang dengan sendirinya terpacak siap di dunia. Akar dan asal selamanya sebuah hasil seleksi terhadap ingatan kita sendiri. Seorang tak hanya berakar di Serang atau Seram; ia juga punya akar pada keluarga tertentu, dengan riwayat tertentu, di lapisan sosial dan dibesarkan dengan nilai tertentu. Tiap kali sebuah asal diberi nama dan disebut sebagai identitas, timbul masalah.
Saya pernah mengatakan, ”jati diri” adalah sebuah kata yang meragukan. ”Jati” berarti ”benar”; tapi mana sebenarnya ”diri” yang ”benar”? Tak hanya tersedia satu jawaban untuk itu. Pulang ke dalam ”diri” yang ”benar” pada akhirnya juga sebuah pengembaraan tersendiri, sebab yang ”benar” itu hanya tercapai sementara, semacam sebuah pelabuhan transito.
Pernah kita kenal sebuah talibun, sebentuk pantun enam baris yang berisi petuah:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli beranak beli
Ikan panjang beli dahuluKalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu
Kata-kata itu datang dari masyarakat yang merantau, bukan menetap—dari mana lahir Takdir dan Sitor. Talibun itu memang tak mengekspresikan keputusan yang murung seorang anak yang hilang, tapi ada yang sejajar: perjalanan adalah pengakuan bahwa teluk yang terlindung telah ditinggalkan. Sang perantau tak berjalan untuk mencari ibu, melainkan ”induk semang”. Dengan kata lain, ia siap hidup dengan seseorang yang lain, yang bukan sanak keluarga tapi bersedia menerima sang perantau, yang juga asing.
Kini zaman berubah. Paradoks masa kini ialah ketika di jaringan Internet tapal batas raib, justru bertambah rasa takut kepada yang lain, yang bukan sanak sendiri. Suasana kian konservatif: orang bersiap pulang, walau mati menanti. Di masa lain, untuk sebuah pembebasan, ”Tak seorang berniat pulang, walau mati menanti.”
Itu sebaris sajak Hr. Bandaharo yang selalu menggetarkan.
~Majalah Tempo Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar