Senin, 07 Oktober 2013

Logos



Pada mulanya logos. Kemudian keraguan.
Adapun logos, menurut para pakar, berasal dari kata Yunani legein, ”menghimpun”. Tapi kita akan terkecoh bila menyangka kata dari zaman kuno itu tak berkait dengan rasionalitas.

Ketika dalam puisi Illiad Homeros menggunakan kata kerja yang akarnya sama dengan logos untuk menggambarkan laku menghimpun senjata, baju zirah, roti, dan lain-lain, di sana telah tersirat penyusunan kategori—se­suatu yang kemudian kita kenali dalam katalogus. Yang termasuk ”senjata” punya anasir yang berbeda dengan ”makanan”. Ada proses abstraksi yang membentuk konsep: ”panah” lain dari ”lembing”, tapi keduanya dirumuskan sebagai senjata.
Logos pun berarti ”kata”, sesuatu yang merumuskan (dan juga memberi bentuk) benda atau laku yang beraneka ragam sebagai satu acuan. Logos pula yang menyusun alur dan struktur cerita dalam prosa, mengatur argumentasi dalam discourse.
Artinya, yang centang perenang diletakkan ke dalam sebuah tata. Keanekaragaman yang tampak sebagai chaos ditiadakan. Dari ”kekacauan” perbedaan itu ada yang bisa diidentifikasikan sebagai sejenis, digolongkan sebagai satu. Agaknya sebab itu Herakleitos mengatakan, siapa yang mendengarkan logos (yang universal) akan mengakui bahwa semua hal adalah satu.
Tapi ”satu” bisa palsu. ”Satu” juga bisa kaku. Ketika yang bhineka ditampilkan jadi eka, tidakkah keanekaragaman itu disembunyikan, atau abaikan, mungkin sejenak, mungkin pula terbungkam seterusnya? Sebuah tata atau ”order” bisa sangat represif. Bahkan undang-undang yang kita terima sebagai kemestian sosial juga mengandung sikap yang menekan dan mengetam: kita tahu ancaman penjara yang sama diberlakukan atas satu perbuatan yang mungkin sekali konteksnya tak sama.
Itu sebabnya hukum memerlukan hakim. Ia seorang yang diharapkan akan menimbang adilkah penyamaan itu, adakah yang ”logis” dengan sendirinya ”benar”. Hakim adalah unsur yang diperlukan untuk mempersoalkan sejauh mana undang-undang yang terpatri di kitab itu bisa diterapkan pada kejadian yang masing-masing sebenarnya unik, tak bisa dipatri. Hakimlah yang mesti bisa mengimbangi prinsip ekuivalensi—bahwa pelbagai hal perlu dianggap setara—dengan prinsip perbedaan—bahwa banyak hal niscaya berlainan.
Hakim, seorang manusia, adalah beda itu sendiri. Ia, juga aku dan engkau, tak mungkin sama sepenuhnya dan selama-lamanya. Siapa pun tak bisa diringkus dalam ­esensi yang tunggal. Seorang buruh tak hanya seorang anggita ”kelas” proletar, tapi mungkin juga seorang istri yang ditindas suaminya yang juga buruh; atau ia seorang yang memiliki sepetak tanah, sebuah alat produksi.
Sejak menjelang akhir abad ke20, kian kuat desakan untuk mengakui bahwa ”satu” memang bisa palsu dan kaku. Logos digugat. Rasionalitas yang tersirat di dalamnya mulai dilihat sebagai alat untuk mengkotak-kotakkan, mengontrol dan menguasai dunia dan orang lain. Weber dengan muram menyebutnya sebagai ”nalar instrumental”, bagian dari modernitas yang akhirnya akan membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”. Kaum feminis, seperti Hélène Sixous, melihat ada hubungan antara ”logosentrisme” dan kecenderungan patriarki yang menindas, dan sebab itu memperkenalkan kata ”phallogosentrisme”. Gilles Deleuze memuji karya termasyhur Marcel Proust, A la recherche du temps perdu, sebagai pembawa Antilogos: berbeda dari kecenderungan Yunani yang meletakkan tanda di bawah kendali logos dan membentuk sesuatu yang sebenarnya telah rusak karena dipermak, dalam novelnya Proust menghidupkan keragaman yang tak bisa diringkus ke dalam Kesatuan.
Salahkah Kesatuan? Mungkin tidak dengan sendirinya. Tapi Kesatuan bisa terasa sebagai horor di sebuah zaman yang telah menyaksikan ngerinya totalitarianisme Hitler, Stalin, dan Mao. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan karena dianggap tak satu golong­an, tak cocok untuk ”berSatu”: perempuan, orang hitam, orang ”kiri”, orang ”kanan”, gay, dan entah apa lagi.
Yang jarang diingat ialah bahwa Kesatuan itu tak sekadar hasil pemikiran metafisik. Ketika Kesatuan ditandai dengan satu bendera—”manusia”, ”Kristen”, ”Islam”, ”Barat”, ”Asia”—yang jarang ditanyakan ialah siapa yang memilih bendera itu dan memancangkannya. Kita lupa ada unsur proses kekuasaan di dalamnya, kita tak melihat ”the political” terpaut erat di situ. Kita tak selalu sadar bahwa tiap proses kekuasaan adalah bagian dari dunia yang tak kekal, terbatas, dan tergantung.
Memang ada yang merisaukan dalam pandangan yang menggugat Kesatuan itu, yang tak mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua. Ketika Paus dua pekan lalu mengingatkan bahwa ”pada mulanya adalah logos”, ia sebenarnya mengungkapkan sebuah peringatan dan kecemasan: bagaimana dialog antarmanusia mungkin, jika Kesatuan itu ditampik? Tidakkah ada sesuatu yang lain yang bukan ”mengkotakkotakkan” dan ”mengontrol”, dalam logos, ketika kita ”menghimpun”, legein—dan itu hanya bisa dimengerti bila logos, seperti dalam iman Kristen, juga diartikan Kasih Allah yang turun ke bumi?
Maka Paus pun menganjurkan perluasan makna kata Vernunft, (yang dalam bahasa Indonesia lebih dekat ke ”akal budi” ketimbang ”nalar” yang instrumental). Bukan penyempitan, apalagi penampikan.
Kita bisa memahami Paus di sini. Namun tentu saja jadi soal bila pada saat yang sama ”Eropa”lah yang dinilai mewakili ”akal budi” yang seperti itu. Di Indonesia kita tak perlu membaca kritik Adorno dan Horkheimer (dua pemikir yang pada suatu saat tersingkir dari Eropa) untuk melihat ”Eropa” juga bisa berarti penjajahan, ketika pada mulanya logos, kemudian kita tak bisa lolos.
~Majalah Tempo Edisi. 31/XXXV/25 September – 01 Oktober 2006~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar