Senin, 07 Oktober 2013

Lupa


Ada protes Aceh 1999. Ada juga protes Aceh 1932. Pada bulan Maret 1932, di Kutaraja orang berapat akbar. Mereka menentang keputusan pemerintah Hindia-Belanda untuk menggunakan bahasa Aceh di sekolah bumiputra. Rakyat yang serta dalam pertemuan besar itu justru menghendaki bahasa Indonesia.
Seperti dipaparkan oleh seorang penulis dalam Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya pada bulan Maret itu, protes yang sama terjadi juga di Padang dan Surakarta.

Bukan karena di Kutaraja orang Aceh ingin mencampakkan bahasa Aceh. Bukan karena di Padang orang Minang ingin meniadakan bahasa Minang dan di Surakarta bahasa Jawa hendak dimatikan. Tetapi itu tahun 1932. Nasionalisme Indonesia sedang pasang perbani. Empat tahun sebelumnya, bulan Oktober yang bersejarah itu, para pemuda berkumpul di Batavia untuk memaklumkan bahwa mereka ingin punya satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.
Tak ada seorang pun yang tahu persis dari mana sebenarnya “Indonesia” lahir. Namun, bisa dikatakan bahwa dalam hal bahasa—satu elemen penting dalam nasionalisme Indonesia—batu fondasinya adalah hasil persenyawaan antara impian dan kepahitan. Juga kebutuhan untuk melupakan.
Drama ini dimulai dari kegandrungan orang Belanda yang berkuasa untuk menarik garis pemisah yang lurus dan terang. Dalam desain mereka, ada sebuah batas kolonial buat inlanders: mereka yang berkulit cokelat itu bukan saja tak boleh masuk ke kamar bola. Mulut mereka yang berbau durian atau petai itu juga tak boleh mengucapkan bahasa yang dipakai oleh para meneerdan mevrouw.
Memang luar biasa. Agaknya, hanya penguasa kolonial Belanda yang melarang orang pribumi menggunakan bahasa sang penjajah. Tak mengherankan bila menurut sensus tahun 1930, hanya 0,3 persen dari orang bumiputra (yang merupakan 97 persen penduduk tanah jajahan itu) yang bisa berbahasa Belanda–meskipun dengan terbatas, sekadar buat menulis sepucuk surat yang sederhana.
Henk Maier, yang mengadakan penelitian tentang hal ini, pernah menulis dengan analisis yang cemerlang dan bahasa yang tajam kenapa penguasa kolonial Hindia Belanda bersikap demikian. Bagi tuan-tuan itu, tulis Maier, “orang pribumi berbeda dari kita”–dan biarlah perbedaan itu kekal. Si bumiputra harus sedapat-dapatnya tetap bumiputra. Argumen ini biasa diberi kemasan yang bagus: “kita harus menghormati keaslian pribumi….”
Tapi, mau tak mau, tersingkap juga motif yang satu ini: apartheid. Kata dari bahasa Belanda itu tak pernah dipergunakan oleh penguasa Hindia-Belanda (kita tahu, apartheid jadi istilah yang terkenal busuk di Afrika Selatan), tetapi ujung-ujungnya adalah sejenis pemisahan rasial juga.
Tak ayal, sebuah gelombang besar muncul. Orang bumiputra membangun bahasanya sendiri. Tak sulit untuk itu. Menjelang akhir 1925, ada sekitar 200 surat kabar di Hindia Belanda yang memakai bahasa Melayu, yang kemudian diberi nama bahasa “Indonesia” itu. Kaum nasionalis bertekad bahwa dengan bahasa ini—yang dengan mudah mempertautkan elite yang terdidik dengan orang ramai—orang bumiputra akan mendapat dan membangun ilmu pengetahuan yang setaraf dengan standar internasional.
Maka, ketika pada tahun 1932 pemerintah Hindia-Belanda hendak memotong elan nasionalisme itu dengan mengharuskan pemakaian bahasa daerah di sekolah, kaum pergerakan berteriak “awas, divide et impera! Apalagi banyak bahasa daerah yang terkait erat dengan struktur sosial yang represif, dan apa pula artinya sebuah “bahasa daerah”? Jawa, misalnya, tak pernah merupakan sesuatu yang tunggal: ada orang Surakarta dan ada orang Banyumas. Protes di Kutaraja, Padang, dan Surakarta itu adalah bagian dari kesadaran untuk mencegah manipulasi kolonial dalam soal identitas.
“Indonesia” pun tumbuh sebagai sebuah proyek besar untuk memberi isi baru pada soal identitas itu. Kata “baru” sangat menentukan di sini. Renan, pemikir Prancis itu, benar ketika ia mengatakan bahwa “lupa adalah sebuah faktor yang amat pokok dalam terciptanya sebuah nasion”. Lupa kepada ikatan lama setiap daerah, lupa kepada tradisi yang mengikat. “Indonesia” lahir bersama semangat modernitas yang ingin membebaskan.
Tapi itu awal abad ke-20. Menjelang akhir abad, banyak hal berubah. Indonesia dengan senjata memaksa orang Timor Timur menjadi bagian dari dirinya—sebuah proyek ala Bismarck melalui “darah dan besi”. Sejak itu, Indonesia tampak bukan sebagai sebuah proyek bersama yang ikhlas. Militer tidak hanya membunuh orang tak bersalah di Timor Timur, Irianjaya, dan Aceh. Militer telah membunuh impian nasionalisme sebagai pembebasan.
Kini sebuah generasi harus tumbuh dalam puing-puing kekerasan itu. Mereka akan dengan berat dan luka-luka harus membangun sebuah visi baru tentang Indonesia, atau lebih tepat “Nusantara”: sebuah kepulauan yang tidak lagi berada di satu atap, sebuah perpisahan yang semoga tidak meneruskan kekerasan dan menghalalkan kebencian.
~Majalah Tempo Edisi. 36/XXIIIIIIII/08 – 14 November 1999~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar