DI daerah pesisir utara Jawa Tengah yang datar dan berdebu, di
pertengahan abad ke-19, seseorang menulis sejumlah buku. Ia adalah Haji
Mohamad Rifangi.
Waktu itu usianya pasti sudah agak lanjut. Ia dilahirkan pada1786 di
wilayah Kendal, beberapa puluh kilometer dari Semarang. Ia juga pasti
orang yang berilmu dan berpengikut. Ia anak seorang pengulu, dan itu
berarti bukan seorang santri kampung sembarangan. Pada satu tahap dalam
riwayatnya, ia berangkat ke Mekkah, dan bermukim selama delapan tahun.
Setelah itu, ia kembali, ke tempat ia dilahirkan. Tapi sikapnya berubah.
Ia bentrok dengan para ulama. Baginya, kehidupan beragama sebagaimana
yang dilihatnya di sekitarnya itu keliru. Dan ia mengutarakan soal itu
dengan keras. Mungkin karena ini, ia sempat difitnah dan masuk penjara.
Tapi Rifangi punya nasib baik: setelah istrinya meninggal, ia menikah
dengan janda demang yang makmur. Lepas dari penjara, Rifangi pun pindah
ke Kalisalak, mendirikan pusat pengajian dan menulis sejumlah buku.
Sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya, Protest Movements in Rural Java, Rifangi sebenarnya tak mengumumkan ajaran baru. Karya-karyanya, yang kumpulannya disebut Tarajumah,
sejenis bunga rampai terjemahan dari pelbagai kitab. Hanya Haji Mohamad
Rifangi menyusunnya dalam bentuk tembang berbahasa Jawa.
Toh bunga rampai itu ia pilih dengan kecaman kepada keadaan di
sekitar. Para penguasa negeri, di mata Rifangi, berdosa. Para pengulu,
pejabat keagamaan resmi, tak mau menuruti perintah menegakkan hukum
Allah. Banyak hal menyimpang dari Quran dan Hadis. Maka, orang harus
sadar: para bupati dan wedana dan lurah itu tak lain cuma orang-orang
munafik. Siapa yang menghamba kepada “raja kafir” dalam hal agama, tak
lebih baik ketimbang anjing dan babi.
Sebagaimana umumnya para “reformis”, ada sikap kesucian yang memusuhi
praktis siapa saja dalam pendirian Rifangi. Ia memang ingin membawakan
suatu kehidupan beragama yang tak tercampur dengan noktah apa pun dari
luar doktrin. Tak heran bila Rifangi pun menentang hal-hal seperti
wayang dan gamelan.
Kita agaknya kenal dengan tipe ini. Dalam riwayat, pelbagai versi
Rifanglisme datang dan pergi: perawat-perawat yang gigih yang mencoba
mensterilkan ruang sejarah ketika mengarungi waktu. Dalam proses masuk
ke luar debu dan lumpur ini, dalam kendaraan yang terguncang-guncang,
tiap kita diharapkan tetap murni, bersih. Untuk itu surga menunggu. Juga
keselamatan di dunia. Dalam Kitab Nalam Wikayah, salah satu
karyanya, Haji Mohamad Rifangi menggambarkan hal itu: sebuah “Tanah
Jawa” yang makmur, tanpa begal dan penyamun, pencuri dan pendurhaka.
Tak ayal, para pengikut berkerumun disekitar kiai Kalisalak.
Pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, Jawa memang resah. Masa kolonial
telah mempertemukan kakek-nenek kita itu dengan lingkungan budaya yang
telah retak batas-batasnya. Ada kekuatan yang asing, ada kekuasaan yang
terasa menekan dan tak akrab. Ada orientasi yang berubah, ada
bentuk-bentuk kebahagiaan baru yang tak mudah dicapai atau mencemaskan.
Ada frustrasi, ada penasaran. Ada kebutuhan akan ketenteraman batin,
sejenis kepastian dan jaminan, di tengah perubahan sosial-budaya yang
tak tenteram.
Tak heran bila abad ke-19 dan sesudahnya adalah zaman konflik, dan karya seperti Protest Movements in Rural Java selalu layak dibaca kembali bila konflik sejenis itu, yang sering kali memakai bendera Islam, meletup.
Haji Rifangi adalah salah satu gejalanya. Dimakmumi oleh para
penduduk pedesaan Kedu dan Pekalongan, ia dengan segera dikenal sebagai
pemimpin ngelmu Kalisalak. Para santrinya, disebut santri Budiah,
memisahkan diri dari Muslimin lain. Mereka bukan saja tak menonton
wayang juga tak mau bersembahyang jemaah di masjid, dan – menurut
laporan Residen Pekalongan – mereka menolak kawin di depan penghulu.
Para wanita mereka tak keluar ke tempat umum dan di luar kalangan
mereka, tampaknya yang ada hanya kaum yang sesat.
Haji Mohamad Rifangi memang gencar menyerang – khususnya para pejabat
keagamaan gubernemen. Tak heran bila Rifangi beberapa kali diusulkan,
antara lain oleh Bupati Batang, untuk disingkirkan. Dan benar: di tahun
1859, pengusik itu dibuang ke Ambon. Ia mungkin dianggap suatu ancaman
yang bisa mengganggu ketertiban – meskipun Rifangi tak pernah angkat
golok, dan tak suatu pun terjadi ketika pengikutnya tetap jadi santri
Budiah setelah sang guru tak ada.
Rifangi memang bukan pemberontak. Ia hanya pemimpin suatu gerakan
“sektarian”, seperti dikatakan Sejarawan Sartono, tokoh kelompok yang
memisahkan diri, seorang yang merasa paling di depan dalam menjaga
kemurnian agama. Ia layak dihormati. Tapi tak berarti ia bisa selamanya
diikuti.
Dalam Protest Movements in Rural Java, ada disebut suatu
“saat dramatik” ketika Rifangi berdebat, di depan umum, tentang agama,
dengan seorang penghulu. Ia “kalah”. Kita tak tahu bagaimana isi debat
besar itu, dan bagaimana ia kalah. Tapi siapa tahu sang penghulu bisa
meyakinkan kekhilafannya: Iman lebih kaya ketimbang kemurnian. Iman
adalah bianglala yang semarak. Rifangi hanya menawarkan sehelai pembalut
putih yang steril, tapi manusia bukan cetakan tunggal mumi Adam di atas
bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah, tanpa ketelanjuran
kebudayaan.
~Majalah Tempo Edisi. 41/XV/07 – 13 Desember 1985~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar