DI abad ke-16 ada cerita tentang Tuhan yang aneh. Mungkin ia bukan yang disebut Yesus, yang digambarkan sebagai bayi dengan ibu yang lembut hati di tiap hari Natal. Tapi apa arti sebuah nama? Seperti nama Tuhan yang mana pun, pada akhirnya manusialah yang memilih bagaimana memanggil-Nya dan bagaimana Ia dihadirkan untuk memenuhi kehendak di dunia.
Itulah riwayat Francisco Pizarro di Peru. Saya akan menceritakannya dengan sedikit imajinasi.
Pada 1532, perwira Spanyol itu masuk ke wilayah Inca di Amerika Selatan itu dengan 102 orang pasukan dan 62 ekor kuda. Dengan kemauan dan keberanian yang luar biasa opsir Spanyol itu mengarungi Atlantik, dan tatkala mendarat ia temukan orang-orang kufur, najis, biadab, sesat. Sebuah alasan yang cukup bagi tiap laskar Tuhan, yang melangkah di atas jalan lurus yang ditunjukkan agama untuk menghabisi nyawa beberapa ribu orang.
Syahdan, di lapangan di pusat kota Cajamarca, telah menunggu Atahualpa, raja bangsa Inca. Ia di sana bersama ribuan hamba sahaya dan pengawal. Ada yang mengatakan, mereka sebenarnya siap berperang.
Orang-orang Spanyol berpura-pura tidak. Pertemuan dibuka oleh Frater Vicente, rohaniwan yang datang bersama para conquistador itu. Ia mengulurkan sebuah salib di tangan kanan dan sebuah buku doa di tangan kiri. Ia memperkenalkan diri sebagai, sebagaimana Pizarro, utusan Raja Spanyol yang dia sebut sebagai ”sahabat Tuhan”. Ia mengimbau orang Inca agar meninggalkan dewa-dewa mereka.
Dalam catatan yang ditemukan kemudian, disebutkanlah Atahualpa menjawab bahwa ia tak dapat mengubah imannya kepada Sang Surya yang abadi. Tapi bagi Vicente itu berarti sesat. Hanya Tuhannya yang benar dan kekal.
Maka Atahualpa pun bertanya: ”Apa gerangan kewenangan Tuan atas agama Tuan?”
”Semuanya tertulis di kitab ini,” sahut sang rohaniwan.
”Berikanlah kitab itu,” kata Atahualpa, ”agar ia bicara padaku.”
Tapi tentu saja buku itu tak bicara, meskipun dicoba didengarkan di dekat kuping. Dan tanpa beranjak dari takhta, dengan gerak yang angkuh, yang dipertuan Inca itu membuang kata-kata suci yang tercetak itu ke tanah.
Vicente berteriak: ”Ia melawan Kristen!”
Maka Pizarro dan seorang letnannya pun menjalankan apa yang sudah direncanakan. Mereka teriakkan perintah menyerang. Prajurit-prajurit Spanyol menembakkan bedil harquebusier dan dua kanon kecil mereka ke arah kerumunan orang kafir itu.
Menurut catatan orang Spanyol, orang-orang Inca yang tak pernah menghadapi senjata itu terkejut, panik, menghambur hendak lari. Tapi pasukan berkuda Pizarro menyerbu. Ribuan manusia itu berdesak-desak, dan tembok plaza itu runtuh, dan 1.500 orang mati terinjak-injak.
Atahualpa ditangkap. Beberapa bulan lamanya ia jadi sandera. Ia akhirnya menawarkan emas untuk memperoleh kebebasannya, dan Pizarro setuju. Orang Spanyol ini menerima 6.000 kilogram emas 22 karat dan 12.000 kilo perak murni. Tapi Atahualpa tetap dikurung. Pada akhirnya ia dituduh mencoba, dari tempat ia ditahan, memerintahkan agar orang Spanyol dibunuhi. Tak ayal, ia dijatuhi hukuman mati. Tapi seraya mengingat Tuhan yang diimaninya, Pizarro memberi raja Inca itu dua pilihan: ia akan dibakar hidup-hidup bila menolak Yesus, atau ia akan hanya mati dicekik bila bersedia berpindah agama.
Raja Inca yang kalah itu akhirnya tak ingin tetap jadi seorang kafir dan memilih cara pembunuhan yang kedua. Ia dicekik. Ia dikebumikan di pekuburan Kristen di Cajamarca.
Pizarro berhasil.
Tapi yang penting dalam tiap cerita penaklukan bukanlah keberhasilan. Seandainya pun Pizarro gagal, ia tetap menunjukkan bahwa Tuhan ada bersama para penakluk—sebab di sini Tuhan hadir sebagai ”Aku” yang menaklukkan.
Siapa pun nama-Nya.
~Majalah Tempo Edisi 22 Desember 2008~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar