Senin, 14 Oktober 2013

Machiavelli, Marxisme, dan Mungkin








…. ide-ide Niccolo Machiavelli, filsuf politik abad ke-16, sangat bermanfaat…  pendekatannya terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik.  Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya pada pergolakan dan perbenturan kelas yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.                               
 R. William Liddle, ‘Marx atau Machiavelli: Menuju Demokrasi Yang Bermutu di Indonesia dan Amerika’ – ‘Nurcholish Madjid Memorial Lecture’, di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 8 Desember 2011.   
***

Machiavelli adalah sepatah kata kotor yang tidak bisa dielakkan. Nama itu selalu dikaitkan dengan kalimat ´tujuan menghalalkan cara.’  Tetapi  orang Italia ini  juga dikenang karena menulis sebuah buku tentang kepemimpinan politik yang selama 500 tahun diperbincangkan. Ia bukan cuma sebuah bunyi suram.

Terminal




Saya tak tahu persis dari mana kata “preman”.  Ada yang mengatakan asal-usulnya dari kata Belanda vrijman — dengan tekanan pada vrij, “bebas”.

Jika benar demikian, saya kira itu kata yang pas. Mereka jenis penghuni sebuah wilayah yang membebaskan diri dari hukum wilayah itu.  Mereka orang-orang yang berada di sebuah ruang juridis-politis, namun menunjukkan diri, terang-terangan atau tidak, sebagai perkecualian — dan dengan demikian mengambil-alih kedaulatan di tangan  sendiri.

Lelucon




Ada sebuah cerita yang saya temukan di internet dan saya ubah di sana-sini untuk para pembaca:
Pada suatu hari di Slovenia, seorang atheis sedang joging di hutan. Ia menikmati hijau pohon-pohon seraya tubuhnya bergerak di udara pagi.
Tiba-tiba ia dengar suara mengaum. Ketika ia menengok, ia lihat seekor singa besar (dan tampak lapar) mengejarnya.
Ia lari, menerabas semak. Tapi malang tak dapat ditolak: ia tersungkur di sebuah sudut. Singa itu pun tegak di dekatnya bersiap menerkam.
Putus asa total, si atheis sadar: hanya Tuhan yang bisa menyelamatkannya. Ia insyaf. Ia berdoa: “Ya, Tuhan, bebaskan aku dari hewan buas ini. Jadikanlah ia makhluk yang Kristiani”.
Tiba-tiba hutan bercahaya selama 30 detik. Mukjizat terjadi. Tokoh kita tahu, doanya dikabulkan.
Dan terdengarlah suara singa itu, takzim: “Bapa kami yang ada di Surga, terpujilah nama-Mu. Telah Kau beri aku santapan pagi yang lezat.”
Andaikata peristiwa itu terjadi benar-benar, kita tak akan tertawa. Seseorang yang tersungkur di hadapan seekor singa yang lapar bukanlah adegan yang menggelikan. Keajaiban yang membuat seeokor singa bisa bicara juga bukan kejadian yang lucu. Cerita di atas kocak karena ia satu konstruksi imajinatif yang menabrakkan apa yang mula-mula tampak galib (seseorang ketakutan dan putus asa menghadapi maut) dengan apa yang mendadak tak masuk-akal dan tak terduga (si singa jadi Kristen… dan tetap tak melepaskan mangsanya).

Pedagang




Pedagang adalah kelas yang dianggap hina di abad ke-18 Jawa. Dalam kitab Wulangreh, yang disebut sebagai karya Pakubuwana IV, ada sederet petuah bagi para aristokrat muda tentang perilaku yang baik dan yang buruk.

Selebritas




Seorang selebritas, atau pesohor, adalah seorang yang terasing dari cermin di hadapannya.  Ia tak lagi sendirian di kamar mandi.  Kini cerminnya digantikan alat lain: kamera, alat perekam suara, atau catatan seorang jurnalis.  Alat-alat itu mewakili tatapan orang banyak yang ia asumsikan senantiasa hadir. Di tatapan itulah ia melihat dirinya. Atau lebih tepat: “diri”-nya.

Promotheus







Pada umur 26 tahun,  anak baik itu, Aaron Swartz, menggantung diri. Diduga ia ketakutan.Kejaksaan mengancamnya dengan hukuman berat.  Jum’at 11 Januari yang lalu tubuhnya diketemukan tak bernyawa di apartemennya di Brooklyn, New York.

Gereja









Jemaat makin tak terlihat di negeri kelahiran Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri.
Peribadatan lengang. Gereja-gereja jadi gedung menganggur yang harus dibongkar. Majalah Der Spiegel 14 Februari yang lalu mencatat: di Jerman, selain di wilayah Protestan, juga di Bavaria yang Katolik, misa tak ramai lagi.