Senin, 07 Oktober 2013

Mulyana



Mulyana atau bukan Mulyana, tiap orang punya detik-detik yang genting, ketika harus menentukan untuk curang atau tak curang, mencuri atau tak mencuri. Detik-detik itu mungkin singkat, tapi itulah saat kebebasan yang menakjubkan.



Menakjubkan dan sekaligus membuat gentar: kebebasan itu sunyi dan penuh risiko. Tapi bagaimanapun ia menandai sebuah otonomi, mengisyaratkan sebuah posisi: manusia bukanlah sebuah kapal keruk. Sebuah kapal keruk, yang digerakkan sepenuhnya oleh pelaku di luar dirinya, tak akan bisa dituntut pertanggungjawaban, tak dapat pula diberi penghormatan. Tak ada mesin yang patut dibui dan layak diberi medali.
Memang bisa dikatakan, keputusan seseorang, Mulyana atau bukan Mulyana, disebabkan oleh wataknya, dan watak adalah akibat warisan genetik orang tua serta pengaruh sekitar yang membekas.
Namun dapatkah semua hal diterangkan dengan garis lurus sebab-dan-akibat itu? Ketika saya memutuskan bertindak A, dan bukan B, saya sebenarnya tak tahu persis adakah hal itu karena nenek moyang saya Ken Arok, atau karena tubuh saya gemuk, atau karena saya berbakat main akordeon dan dibesarkan di Cepu. Siapa yang dapat memastikan bahwa sebab X, Y, Z akan berakibat pada laku A dan bukan B?
Pada akhirnya, inilah yang saya tahu: saya adalah pelaku. Mulyana atau bukan, pada saat-saat saya harus memilih apa yang “baik” dan “buruk”, saya bukanlah sebuah akibat. Ada dalam hidup saya yang dapat dijelaskan dengan sebab-dan-akibat, namun ada yang tidak. Tak seluruh diri saya digerakkan oleh keniscayaan. Kita sehari-hari menempuh hidup dengan Das Sein,mengikuti “apa-yang-ada-kini”; tapi juga kita coba menjalankan Das Sollen,“yang-seharusnya”. Kant mengatakan: kita memiliki “kemerdekaan transendental”.
Kemerdekaan itulah yang membuat manusia sebuah makhluk yang belum selesai.
Ada sepotong kalimat yang pernah mengharukan abad ke-20: “Saya percaya, manusia pada dasarnya baik”. Anne Frank menuliskan itu di antara ribuan baris catatan hariannya, ketika gadis kecil Yahudi itu bersembunyi ketakutan selama dua tahun, sebelum akhirnya orang Nazi menangkapnya beserta seluruh keluarganya dan memasukkannya ke kamp konsentrasi Bergen-Belsen, tempat ia mati pada akhir musim dingin 1945. Kata-kata itu memberikan harap pada zaman yang gelap. Tapi sebenarnya tak sepenuhnya tepat.
Bukan karena manusia “pada dasarnya buruk”. Tapi karena kita tak dapat merumuskan satu sifat apa pun tentang manusia dengan kata-kata “pada dasarnya”. Seseorang jadi pahlawan atau bajingan bukan karena “esensi”. Saya tak pernah percaya ada “pahlawan” atau “bajingan”; yang ada hanyalah “laku/momen kepahlawanan” atau “laku/momen kebajinganan”. Keduanya adalah “eksistensi”, yang datang dari pilihan dan perbuatan.
Sebab itulah pilihan untuk berbuat baik—menolak untuk korupsi, misalnya—adalah sebuah langkah yang tiap kali mengharukan dan mengagumkan: ia tak dilakukan sebagai kelaziman, atau sebagai sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan. Ia dilakukan sebagai semacam “penciptaan”. Ia dilakukan bukan untuk menuruti perintah dari “dia” atau “mereka”, dari hukum Tuhan atau manusia. Perbuatan baik itu dilakukan secara “spontan”, sebab langsung ia dilihat sebagai “wajib”.
Dalam sebuah kisah kecil Mahabharata, Urinara melindungi seekor unggas yang nyaris tewas. Seekor elang besar mengejar untuk memangsanya. Urinara tak kenal unggas yang ketakutan itu, tapi ia tahu ia tak dapat membiarkan keangkaramurkaan itu terjadi. Ditawarkannya dirinya, jasadnya, untuk jadi makanan pengganti. Si elang pun menerima tawaran itu, dan mulailah ia memakan sedikit demi sedikit tubuh sang penolong….
Bagi Urinara, keputusannya adalah sebuah “kewajiban”. Ia melakukannya bukan karena ia senang, bukan karena janji surga, melainkan karena ia sadar itulah yang “baik”, yang “bajik”, dan tak ada hubungan antara kebajikan dan rasa bahagia. Kebajikan itu ia anggap sebagai sesuatu yang “seharusnya”, dan ini berlaku universal: harus dilakukan oleh siapa saja, juga oleh dirinya.
Tapi “kewajiban” itu, pada saat yang sama, juga dipilih dengan bebas—bebas dari pamrih apalagi paksaan. Memang sebuah paradoks: bagaimana sebuah “kebebasan” menjalankan “kewajiban”? Apa arti “otonomi” di sini?
Kant mencoba menjelaskan paradoks itu dengan susah payah. Tapi saya kira ada jawaban yang sederhana: yang “wajib” itu tersedia untuk dipilih secara bebas sebab ia memenuhi sebuah gagasan tentang apa yang “universal”, yang diterima semua orang yang berakal-budi.
Tentu saja yang “universal” itu tak pernah hadir sebagai tata tertib yang jelas dan selesai. Manusia mempersoalkannya berabad-abad, selalu dalam keadaan setengah gelap. Juga bagi Urinara. Malah mungkin ia tak berpikir, dapatkah tindakan yang dilakukannya jadi norma yang berlaku bagi orang lain sebagai “imperatif yang kategoris”. Yang pasti ia tak berbuat untuk jadi teladan. Namun di situ justru kebajikannya menakjubkan.
Tapi tak hanya Urinara. Syahdan, di sebuah tembok di Kota Kaliningrad yang dulu bernama Köningsberg, tak jauh dari makam Kant yang merapat di dinding katedral kota itu, ada sebuah kutipan terkenal dari sang filosof, dipahat dalam bahasa Jerman dan Rusia. Terjemahan bebasnya: “Dua hal memenuhi pikiranku dengan rasa takjub dan terkesima: angkasa yang penuh bintang di atas sana dan hukum moral nun dalam diri manusia”.
Dua hal—dan di situ tampak keterbatasan manusia tapi juga kelebihannya. Di tengah alam semesta, ia hanya satu di antara bermiliar-miliar noktah; ia begitu terbatas, begitu tak mampu untuk mengetahui semuanya. Tapi dalam posisi itu, ia toh dapat, bila ia mau, menciptakan sesuatu yang baik bagi sesamanya.
Maka alangkah nistanya, jika Mulyana atau bukan Mulyana ternyata memilih mala, memilih evil—dan berpaling dari hal yang menakjubkan itu.
~Majalah Tempo, Edisi. 10/XXXIV/02 – 8 Mei 2005~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar