PERANG Padri tak dimulai dari titiknol. Sewaktu saya kecil, yang saya
baca hanyalah cerita tentang Imam Bonjol yang melawan para pendukung
adat yang dibela Belanda. Setelah mulai tua, saya baca kisah tentang
Tuanku Nan Rinceh, yang kurus tapi dengan matamenyala bagai api.
Ia muncul dalam arena konflik sosial yang melanda Minangkabau sejak awal abad ke 19. Ia muncul dan ia mengagetkan.
Di daerahnya di Bukit Kamang yang tinggi, ia memaklumkan jihadnya
seperti pedang berkilat. Merasa ia harus memberi contoh bagaimana ajaran
agama mesti ditaati tanpa ditawar, konon ia membunuh saudara ibu
kandungnya. Wanita itu seorang pengunyah tembakau.
Masyarakat yang ingin ditegakkan Tuanku Nan Rinceh memang masyarakat
yang ideal: tak ada orang menyabung ayam, minum tuak, atau mengisap
candu. Tak ada orang memakan sirih. Pakaian putih-putih haru dikenakan,
dan kaum pria haru mengikuti Nabi: membiarkan diri berjanggut. Wanita
haru bertutup muka, tak boleh memakai perhiasan. Kain sutera harus
dijauhi. Syariat Islam harus dijalankan, dan siapa yang tak taat
dihukum.
Memang, ada pengaruh gerakan Wahhabi, yang waktu itu sedang naik
pasang di sekitar Mekkah, dalam semangat Tuanku Nan Rinceh itu.
Lurus, sederhana, menuntut sikap yang serba murni. Tapi zaman
tampaknya menghendaki semangat yang lempang dan puritan. Tuanku Nan
Rinceh, mungkin “ekstrem”, bukan fenomena yang tersendiri.
Tak berarti ada persekongkolan di manamana. Sejarah umat Islam adalah
sejarah tentang perbedaan-perbedaan, dan kita bisa sesat bila tak
memandangnya secara demikian. Gerakan “pemurnian” di Bukit Kamang itu
toh akhirnya bentrok dengan gerakan Islam di tempat lain. Khususnya dengan seruan “kembali ke syariat” yang sejak
akhir 1700 dibawakan oleh Tuanku Nan Tua dari Kota Tua di wilayah
Agam.
Sengketa itu sengit. Setelah gagal mempertemukan pendapat dalam
suatu pertemuan, Tuanku Nan Rinceh pun menarik garis Orang alim tua
dari surau tarikat Syattariyah itu, Tuanku Nan Tua, yang mengutip
pelbagai ayat Quran untuk menunjukkan bahwa Nabi pada dasarnya
mengenggani kekerasan, kemudian dicemooh sebagai “Rahib Tua”.
Muridnya, Jalaluddin, yang mendirikan dusun Muslim di Kota Lawas,
dijuluki “Raja Kafir”. Lalu perang pun pecah selama enam tahun.
Apa gerangan penyebabnya? Tahun lalu terbit sebuah hasil penelitian sejarah Sumatera Barat oleh Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy,
sebuah studi tentang masa riuh 1784-1847. Seperti 1mpk dari
judulnya, Dobbin mencoba menunjukkan maraknya api keagamaan di
Minangkabau itu sebagai jawaban sosial atas perubahan ekonomi yang
terjadi, ketika perdagangan kopi untuk ekspor sedang menunggu.
Ketika itulah orang-orang Minang, terutama dari daerah pebukitan,
tempat kopi tumbuh mudah, menemukan dunia baru. Mereka hidup dari suatu
proses jual-beli, yang jaringannya lebih luas ketimbang dusun sendiri
– suatu jarimgan yang tentu saja impersonal. Adat setempat yang
mengatur hubungan-hubungan lokal karena itu tak lagi memadai.
Tak mengherankan bila para penghulu, yang lazim memecahkan
sengketa sosial dengan memakai pedoman aturan setempat, jadi repot.
Dalam keadaan sedemikian, ketika hukum tak lagi cukup, sementara perkara
yang harus dihakimi bertambah rumit dan banyak, surau pun tampil sebagai alternatif. Hukum Islam, yang
diturunkan di Mekkah di Dsuatu masyarakat pedagang, memang
memungkinkan itu: la tldak asmg dengan kasus-kasus yang muncul
setelah kegiatan komersial berkembang cepat.
Tuanku Nan Tua sendiri bahkan ikut aktif dalam kegiatan itu – dan
sukses. Suraunyapun giat menyerukan agar orang berpegang hukum Islam
dalam menyelesaikan soal-soal perniagaan. Tak ayal, syekh dari surau
Syattariyah ini pun dianggap pelindung para
pedagang.
pedagang.
Tapi dalam keadaan yang lebih makmur itu pula orang berkesempatan
berfoya-foya. Hampir di tiap pasar orang mendirikan gelanggang sabung
ayam, sementara tuak dan candu dengan leluasa diedarkan. Semua
tingkah ini jadi tambah mencolok buruknya bagi orang ramai, ketika
semangat pedagang hemat, bersahaja, ulet) tengah berblak. Maka, terhadap
kemaksiatan inilah surau-surau angkat suara – dan akhirnya angkat
senjata.
Kaum Padri, juga Tuanku Nan Rinceh, pada dasarnya meneruskan semangat
itu. Dan dalam banyak hal mereka berhasil. Desa yang dibangun Haji
Miskin pada tahun 1811, misalnya, di Air Terbit, di lereng Gunung Sago,
adalah contoh desa yang teratur serta makmur. Bahkan orang Belanda juga mengakui hal itu.
Namun, sayang, tak sepenuhnya masyarakat ideal yang dikehendaki bisa
bertahan. Kaum Padri sendiri berubah. Di Pandai Sikat orang-orang desa
mulai kembali makan sirih dan merokok, pakaian wanita tak jadi
setertutup dahulu. Adat setempat tak begitu saja hilang, dan seperti halnya pihak lain, seperti halnya manusia sepanjang
sejarah, kaum Padri pun akhirnya menerima kompromi. Kemurnian barangkali
memang tak ditakdirkan untuk dunia yang tak kekal, tak tunggal, ini.
~Majalah Tempo Edisi. 40/XIV/01 – 7 Desember 1984~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar