Selasa, 08 Oktober 2013

Po Kyin





Apati adalah produk samping kolonialisme yang menyebabkan kemerdekaan dianggap keliru. Mungkin bukan hanya penindasan orang asing yang jadi soal—melainkan kombinasi antara bedil, bui, dan bujukan yang efektif, sesuatu yang dulu terjadi di Burma, dan sekarang terjadi lagi.
Saya teringat U Po Kyin. Lelaki berperut buncit dalam novel Orwell Burmese Days ini memang tak mudah dilupakan: ia adalah kekejian yang turun ke bumi di sebuah negeri panas yang tak bisa berharap. Ia menipu, ia memperkosa, ia merancang untuk menghancurkan orang yang didengkinya, dan ia ingin memperoleh semuanya—juga surga.

Novel ini dibuka dengan adegan ketika Po Kyin, hakim peradilan rendah di Kota Kyauktada, Burma Utara, sedang duduk di beranda rumahnya. Hari baru setengah sembilan pagi, tapi langit warna biru laut yang segera mendatangkan tengah hari yang panjang dan gerah. Tapi U Po Kyin, seperti patung dewa dari porselin, tak bergeming.
Tubuhnya begitu gemuk hingga dalam umur 56 tahun itu ia tak bisa bangkit dari kursinya tanpa ditolong. Kepalanya gundul, raut mukanya luas, warna kulitnya langsat dan tak berkerut. Tungkai kakinya tambun, dengan jari-jari yang rata panjangnya. Ia mengenakan sarung longyi dari Arakan, bergaris-gars hijau dan magenta, yang biasa dipakai orang Burma untuk acara tak resmi. Mulutnya sibuk mengunyah gambir yang diambilnya dari kotak kayu dipernis di meja dekatnya.
Ia, U Po Kyin, sedang merenungkan nasibnya yang baik.
Suksesnya dimulai dengan sebuah keputusan ketika ia masih seorang anak yang terkesima melihat pasukan Inggris berbaris masuk penuh kemenangan ke Kota Mandalay. Memandang barisan laki-laki bermuka merah dan berseragam merah itu, yang menyandang senapan panjang di pundak dan melangkah dalam derap yang berat tapi berirama, ia lari. Kesimpulannya: manusia yang baru datang itu tak akan terkalahkan. Dan Po Kyin kecil pun bertekad untuk bergabung dengan bangsa itu, nanti bila ia besar. Ia tak hendak memihak Burma yang kalah.
Pada umur 17 ia mencoba jadi pegawai gubernemen, tapi gagal. Ia miskin dan tak punya koneksi. Maka tiga tahun lamanya ia bekerja di lorong-lorong pasar Mandalay yang apak dan bacin, jadi kerani saudagar beras, seraya sekali-sekali mencuri. Pada umur 20 ia dapat 400 rupiah gara-gara memeras kecil-kecilan, dan dengan uang itu ia berangkat ke Rangoon. Di ibu kota itu ia berhasil menyuap untuk masuk jadi kerani pemerintah.
Pekerjaan itu memberinya penghasilan yang mudah, meskipun gajinya kecil. Ia menilap banyak barang dari gudang gubernemen. Tapi nasib terbaiknya datang kemudian: sebuah lowongan terbuka dan ia berhasil memfitnah pesaing-pesaingnya, yang kebanyakan masuk penjara, dan dengan itu ia naik.
Kariernya meningkat. Ia akhirnya dapat jabatan hakim peradilan rendah Kota Kyauktada, dengan sikap adil yang terkenal tapi sebetulnya menyembunyikan sesuatu yang licik: Po Kyin akan menarik suap dari kedua pihak yang berperkara, dan kemudian memutuskan berdasarkan hukum yang ada.
Kejahatan orang ini tak hanya sampai di situ, dan saya kira Orwell sedikit berlebihan menampilkan tokoh yang begitu busuk dalam novelnya. Tapi ini bukan kisah tentang Po Kyin. Novel ini membidikkan kata-katanya ke sebuah masyarakat yang sakit oleh kolonialisme—dibelah oleh prasangka dan kebencian rasial, yang pada akhirnya merupakan garis kebijakan penjajahan juga. Bila ambisi Po Kyin adalah ingin jadi anggota Klub Eropa—yang anggotanya khusus orang kulit putih atau orang lain yang dianggap setara—kita tahu sebabnya: diskriminasi dan penghinaan karena warna kulit telah menyusup sampai ke tulang sumsum siapa saja.
Bahkan mereka yang sebenarnya jadi korban penghinaan itu sendiri mereproduksinya dalam hidup mereka. Po Kyin akan menghalalkan tindakan apa saja—menghasut, membuat kerusuhan, memfitnah—untuk dapat disetarakan dengan orang putih di Klub Eropa. Dr Veraswami, orang India berkulit gelap itu, mengukuhkan supremasi orang Inggris dengan menganggap bahwa manusia Timur tak akan tertolong tanpa Pax Britanica. Ketika sahabatnya, Flory, satu-satunya orang Inggris yang dengan mata nyalang melihat akibat buruk kolonialisme, Veraswami justru membantahnya. ”Lihat Burma di zaman Thibaw,” katanya, ”dengan kotoran, penyiksaan dan kebodohan, dan lihat apa yang tampak sekarang di sekitar tuan. Rumah sakit, sekolah, kantor polisi….”
Bagi Po Kyin dan Veraswami, kolonialisme dan penghinaan mereka perlukan. Bagi orang macam mereka, kemerdekaan tak pernah terpikirkan, sebab mereka tak merasa membutuhkan sebuah keadaan yang lebih adil, meskipun sebenarnya ketidakadilan mengepung hidup mereka. Mereka bebas dari bedil dan bui, tapi mereka menyerah ke dalam bujukan yang menjebak mereka, bahwa bangsa mereka ditakdirkan kalah. Apati yang menang—itu bahkan terasa dari tangan Orwell ketika ia menggambarkan bangsa yang terjajah itu: tak ada perlawanan.
Tapi mungkinkah apati bisa bertahan? Yang terjadi di Myanmar hari-hari ini menjawab: tidak.
~Majalah Tempo Edisi. 34/XXXVI/15 – 21 Oktober 2007 ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar