Senin, 07 Oktober 2013

Dari Sebuah Jerit di Jembatan



Lukisan yang dicuri dari museum di Oslo di tahun 2004 itu tak akan mudah dilupakan orang  Di tengah kanvas, dalam garis yang tergurat kasar tapi terasa ngilu, tampak  sebuah sosok yang ketakutan. Mukanya pucat, mirip mayat tapi juga mirip bayi yang gagal lahir. 

Mulutnya terbuka, menjerit. Matanya membeliak. Tangannya memagut kuping.  Ia berdiri di sebuah jembatan kayu yang tak tampak ujungnya. Di latar belakang kelihatan dua orang lain berdiri seperti bayang-bayang. Dan tak kurang memukau adalah gelombang warna merah di angkasa yang terbentang di atas permukaan air fyord yang luas.Edvard Munch menamai karyanya yang termashur ini Jerit.  Di sudut tampak angka tahun ketika sang pelukis menyelesaikannya:  1893.  Kemudian kita tahu ada beberapa baris dalam catatan hariannya  dari tahun 1892. Saya kutip: 
“Aku tengah berjalan di belakang dua orang teman.  Matahari turun di punggung sebuah bukit yang menjulang melatari kota dan fyord. Kurasakan selintas rasa sedih; langit itu mendadak berubah merah darah. Aku berhenti melangkah,  bersandar pada terali,  letih habis. Kedua temanku memandangiku tapi berjalan terus. Kusaksikan mega yang seperti api di atas fyord dan kota itu…Aku berdiri di sana gemetar oleh rasa takut, dan kurasakan jerit dahsyat yang tak henti-hentinya menembus alam yang terbentang tak putus-putusnya’.
Lebih seabad kemudian, lukisan itu, lanskap Norwegia yang murung itu, dan terutama langit di atas kota
Oslo itu, yang menampakkan  “darah dan lidah api di atas permukaan air fyord yang hitam-biru,”  menarik perhatian para ahli astronomi. Mereka datang dengan sebuah teori.
The New York Times melaporkannya: dalam jurnal Sky & Telescopenomor Pebruary 2004, Donald Olson dan rekan-rekannya dari Universitas Negara Texas mengemukakan apa sebenarnya yang tampak di langit senja hari itu. Di tahun 1883 Krakatau meletus. 
Guncangan hebat terjadi di sekitar Indonesia, dan kurang-lebih 30 ribu manusia tewas oleh tsunami yang menggebrak, tapi yang juga menakutkan ialah bahwa bahkan di Eropa, senjakala tak putus-putusnya menghadirkan langit merah yang terang sejak November 1883 sampai dengan Pebruari 1884. Olson berpendapat, sangat mungkin itu juga yang terjadi di Norwegia, dan Munch adalah salah seorang yang menyaksikannya.
Tak begitu jelas bagi saya kenapa baru 10 tahun kemudian sang pelukis menuangkannya di atas kanvas, dengan tempera, cat minyak, dan pastel di atas karton. Tapi setidaknya teori Olson telah menjadikan Jerit sebuah pengingat: begitu jauh jarak antara Selat Sunda dan  Skandinavia, begitu berbeda, tapi semua ada di satu bumi, hanya satu bumi. Telah terjadi bencana besar di sebuah selat, tapi bahkan di abad ke-19, ketika teknologi belum mempercepat kabar, rasa ngeri di satu tempat bisa menjangkau pelbagai daratan, dan abu letusan yang membara bisa menjelajah merasuki rembang petang beratus-ratus
kota.
Mungkin Munch melihat itu, mungkin juga tidak. Tapi apapun yang menggerakkan hatinya, kanvas itu mencuatkan rasa jeri yang sama-sama kita kenal: pekik tersekat di mulut ketika menghadapi maut, wajah pucat di tengah alam yang, pada saat yang menakutkan, tak sepenuhnya menjelaskan diri, dan hati ketir-ketir karena kefanaan kita. Di mana pun kita berada, kita merasakan diri melangkah di sebuah jembatan yang genting; di ujung yang satu kita adalah sebentuk fetus, di ujung lain kita sebuah jenazah.
“Tak ada yang kecil, tak ada yang besar”, tulis Munch. “Dalam diri kita adalah dunia. Apa yang kecil membagi diri jadi apa yang besar, apa yang besar membagi diri jadi apa yang kecil”.
Mungkin itulah yang bisa dikatakan tentang manusia. Bencana alam datang seperti hantaman raksasa di punggung Krakatau di tahun 1883 dan di daratan Aceh di tahun 2004, dan beribu-ribu nyawa punah, dan pada saat seperti itu, apa lagi beda “besar” dan “kecil” dalam nasib?
Saya teringat akan Bazarov, tokoh yang paling menarik dalam novel Turgenev, Para Ayah dan Putra Mereka.   Ia merenung:  “Di sini, aku berbaring di bawah tumpukan jerami. Ruang sejentik yang kutempati ini begitu tak tepermanai kecilnya dibandingkan dengan ruang selebihnya, di mana aku tak ada…dan jangka waktu yang tersedia untuk hidupku begitu sepele disandingkan dengan keabadian yang belum dan tak akan pernah kuhuni…
Bazarov melihat dirinya praktis tanpa arti. Novel itu menampilkannya sebagai seorang nihilis yang bertanya tentang hidup “kecil” manusia: “Bukankah ini memualkan?”.Tapi dengan  itu sebenarnya ia sendiri melupakan apa yang dikatakannya di ujung renungan itu: “…dalam zarah ini, dalam titik matematik ini, darah mengalir, otak bekerja dan berkeinginan…”.
Maka Munch benar: tak ada yang “kecil”, tak ada yang “besar”.  Kita bisa menghina diri dan merasa terhina, atau tidak.Memang pada kita bisa terbit gentar  ketika memandang langit senjakala seakan-akan tengah dijilat lidah api, kita terpesona dan sadar, seperti pada Bazarov, akan betapa kecilnya bumi di tengah alam semesta. Pada saat seperti itu kita mungkin akan teringat bahwa sejak Kopernikus di abad ke-15 ilmu telah menjelaskan bumi bukan lagi sebagai pusat; bahkan ia kini diketahui cuma senoktah planet di antara bermilyar-milyar yang lain. Tapi soalnya: bagaimana kita memandang apa yang ditemukan Kopernikus.
Ada yang menyimpulkan,  sejak itu manusia berhenti jadi angkuh.  Nietzsche  termasuk yang berpendapat bahwa sejak itu  “pengkerdilan-diri manusia”  maju pesat.  Tapi sebaliknya ada juga anggapan bahwa sejak itu maju pesat pula sikap keilmuan:  taklid kepada wejangan agama bahwa pusat alam semesta adalah bumi, tempat lahir Kristus, telah digantikan oleh pandangan yang meletakkan akal manusia, bukan kitab suci, sebagai pemegang suluh.  Syahdan, dunia modern pun menyingsing, humanisme berkibar.
Humanisme ini terutama berporos pada keyakinan, bahwa manusia mampu dan mempunyai kebebasan untuk menemukan kebenaran. Kopernikus berpegang pada pandangan ini. Tentu saja di abad ke-16, ia harus berhati-hati. Dalam keadaan ketika wejangan agama dijaga ketat  Gereja, karyanya,De Revolutionibus, yang terbit di tahun 1543, ia antar dengan sebuah persembahan bagi Paus Paulus III.Di sana ia mengingatkan bahwa pandangan yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta sebenarnya hanya berdasarkan  otoritas ilmu dan filsafat Yunani, bukan otoritas Alkitab. Pandangan geosentris itu salah, kata Kopernikus, dan yang benar adalah teori yang dikemukakannya: matahari itulah sang pusat. Kitab Kejadian memang tak tampak sesuai dengan teorinya ini, tapi Kopernikus toh bisa mengutip Mazmur dan menyebut perlunya izin Tuhan bagi manusia untuk menggunakan nalar.
Paus Paulus III kebetulan seorang yang menerima humanisme dengan tenang. Namun  perdamaian antara Kopernikus dan Gereja tak bertahan sampai akhir.Sebab dasar pendapatnya tetap:  bagi Kopernikus, manusia-lah tolok ukur sebenarnya, sebab ia subyek  yang bebas dan mampu menemukan kebenaran, dan dengan metode ilmu yang pasti mampu mengetahui sesuatu secara obyektif.  Tak ayal, Gereja menampik pandangan manusia-sentris ini. De Revolutionibus pun digolongkan ke dalam Indeks buku yang haram dibaca, satu ketentuan yang baru dicabut di tahun 1822. Dengan catatan: itu terjadi 70 tahun setelah buku itu terbit. Juga bukan Paus yang memulai serangan agama Kristen atas Kopernikus, melainkan Luther, sang pelopor Protestantisme. Ketika itu sang astronom Polandia itu telah lama wafat.Bentrok yang lebih dramatis terjadi kemudian. Teori Kopernikus berbenturan sengit dengan Gereja dalam kasus Giordano Bruno. Pebruari 1600, setelah delapan bulan dipenjara, bekas padri itu dihukum mati di Campo di Fiore di Roma:  lidahnya ditusuk tembilang dan tubuhnya dibakar hidup-hidup.Memang tak cukup bukti bahwa ia dipidana karena keyakinannya mengikuti Kopernikus. Tapi seperti dikatakan Karsten Harris dalam Infinity and Perspective, sebuah uraian historis yang jernih dan mendalam tentang pemikiran manusia Eropa menghadapi infinitas, ‘yang tak terhingga’, pandangan Bruno tentang kosmos bertaut dengan penampikannya atas dogma utama agama Kristen.
Dalam arti tertentu, yang diyakini Bruno adalah konsekuensi lanjut dari pandangan yang menganggap bumi hanya satu noktah di antara jutaan noktah lain di alam semesta — hingga mungkin tak begitu penting planet tempat Yesus dilahirkan ini. Bumi bukan titik dari mana kehidupan di luarnya diukur. Bagaimana pusat bisa ditentukan?  Matahari juga hanya salah satu penghuni sebuah galaksi, terselip di antara berjuta galaksi lain.Walhasil, bagi Bruno, tak ada pusat. Kopernikus cuma mengganti satu pusat (“bumi’) dengan pusat lain (“matahari’). Ia juga keliru..  Tak pasti pula mana awal dan mana akhir, dalam ruang dan dalam waktu. Kosmos, menurut Bruno, adalah sesuatu yang tak terhingga, reproduksi diri Tuhan sepenuhnya. Tuhan dan kosmos membaur.
Di sini teori Kopernikus diteruskan secara radikal, tapi sebenarnya ada yang gagal.  Kopernikus mengklaim telah membuka kemungkinan manusia untuk menangkap kebenaran tanpa dibatasi sudut pandang yang sepihak, tapi ternyata Nietszche benar: justru karena Kopernikus, proses “peng-kerdil-an diri” manusia berlangsung..Bagi Nietszche manusia akhirnya hanya makhluk di sebuah bintang kecil nun jauh. Manusia `merasa menemukan apa artinya “mengetahui” dan ia hidup dalam satu menit yang takabur yang disebut “sejarah dunia”. Tapi hanya satu menit. Kemudian bintang itu jadi dingin dan sang makhluk pintar itu punah.
Hanya begitukah manusia?  Kita tahu Nietzsche memaparkannya dengan berlebihan, dan tak berarti nihilisme ala Bezarov bisa membuat kita arif.Mungkin kearifan datang justru dari lukisan Munch itu: di kepungan semesta yang perkasa itu, wajah kita guyah, lemah.  Tapi apa salahnya? Telah sering terbukti fatwa agama ternyata salah, penemuan ilmu keliru, kesimpulan filsafat tak bisa bertahan; maka mengakui kelemahan adalah sebuah kekuatan. Gianni Vattimo pun bicara tentang il pensiore debole,“pemikiran lemah”.
Bagi Vattimo, seraya menyadari “pemikiran lemah” itu, sebuah kesimpulan, meskipun ditawarkan agar diterima orang lain, tetap sadar bahwa ia dinamis tapi tak kekal, ia terbuka tapi penuh risiko.  Ia ditawarkan sekedar sebagai tasfir, yang menyingkirkan tafsir lain tapi tak menghapuskannya habis.
Artinya kita selalu berada di tengah jembatan, bukan di ujung tujuan.  Ilham kita bukan Tuhan yang segagah dalam lukisan Micheangelo, tapi tubuh yang terbungkuk kena dera yang pada saat yang genting ditinggalkan Bapanya, tanpa sebab, tanpa jawab. Tapi kita tahu, ia tak sendiri, kita tak sendiri.
~Majalah Tempo Edisi 44/XXXIV/26 Desember 2005 – 01 Januari 2006~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar