Kritik dan Emansipasi: Kontribusi Bagi Pendasaran Epistemologi Politik Kiri - Sebuah Kritik Umum atas Goenawan Mohamad
oleh Martin Suryajaya
Posted: 17/08/2011 by boemipoetra
EMANSIPASI telah lama dikaitkan dengan sikap kritis. Tapi apa itu
emansipasi dan apa itu sikap kritis? Apa artinya emansipasi bila ia
berarti pembebasan individu dari totalitas kolektif dan apa artinya
sikap kritis jika itu berarti sikap berjarak terhadap daya kritis untuk
melakukan perombakan total? Selama emansipasi dan sikap kritis masih
dipahami dalam kerangka ini, maka kita sebetulnya berbicara tentang
kebalikannya: pembelengguan dan dogmatisme. Kedua
hal inilah yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan Goenawan Mohamad.
Keseluruhan karyanya merupakan testamen yang mengisahkan secara
diam-diam bahwa esensi dari emansipasi dan kritik adalah pembelengguan
dan dogmatisme.
Namun biarlah pembaca mengerti di sini bahwa apa yang saya persoalkan
bukanlah Goenawan Mohamad sebagai sosok. Apa yang saya persoalkan
adalah suatu tipe umum cara berpikir yang diam-diam merasuki para
aktivis, intelektual dan seniman kita yang, betapapun berlawanan secara
politis dengan Goenawan Mohamad, sebetulnya berangkat dari asumsi yang
sama dengannya. Asumsi itu adalah humanisme universal. Ini adalah
sebuah asumsi yang bersumber dari filsafat zaman Pencerahan. Dalam
asumsi ini, diyakini adanya esensi dasar yang mempertemukan semua
manusia, yakni Rasio. Goenawan Mohamad, tentu saja, berangkat dari
zaman yang lain. Ia berangkat dari zaman yang menyimpan trauma dan
ketakutan paranoid terhadap Komunisme. Maka itu, kalaupun ia berbicara
tentang hakikat manusia, maka itu ia pandang sebagai keterhinggaan atau
ke-dhaif-an. Manusia mesti dipandang sebagai makhluk yang
senantiasa berkekurangan agar Totalitarianisme (maksudnya:
Marxisme-Leninisme) menjadi tidak masuk akal dan tertampik dengan
sendirinya secara teoretis—begitu pikirnya. Kita tahu dia menulis dari
awal tahun 60-an dari perspektif PSI yang begitu ketakutan terhadap
PKI. Oleh karenanya, konsep kritik juga dimengertinya secara lain:
tidak sebagai daya dobrak yang meruntuhkan tatanan dan membangun
tatanan yang baru, melainkan sebagai sesuatu di antara keduanya—menolak
bagian-bagian tertentu dari tatanan yang ada namun menolak juga untuk
membangun sebuah tatanan yang baru. Emansipasinya, dengan demikian,
merupakan pembebasan yang berhenti sebelum dimulai. Inilah versi
spesifik dari doktrin humanisme universal Goenawan Mohamad yang juga
meresapi tendensi pemikiran kaum intelektual Indonesia: manusia mesti
dilihat pertama-tama sebagai makhluk yang terbatas sehingga lebih baik
mengupayakan suatu konstruksi politik yang cocok dengan asumsi
antropologi filosofis tentang keterhinggaan itu.
Tulisan ini merupakan pembuktian argumentatif dari dugaan saya di
muka. Orang bisa saja memandang tulisan ini sebagai tulisan yang dibuat
oleh seorang “Marxis ortodoks”. Dengan senang hati saya menerimanya.
Sebab saya sepakat dengan Georg Lukács: “Marxisme ortodoks [...] tidak
mengimplikasikan penerimaan tidak kritis terhadap hasil penelitian Marx.
[...] Sebaliknya, ortodoksi mengacu sepenuhnya pada metode.”[1]
Marxis ortodoks adalah Marxis yang berpegang pada metode Marx, yakni
materialisme dialektis. Artinya, dalam tulisan ini saya akan memeriksa
keterkaitan internal antara dimensi teoretik dan politis dari objek yang
dibahas sedemikian sehingga artikulasi teoretik mesti dilihat dalam
hubungannya dengan implikasi politiknya dan setiap gagasan politik mesti
dikaji berdasarkan tesis teoretik yang dikandungnya.
1. Paradoks Kritik
Kritik adalah paradigma orang Modern. Dalam kritik kita menemukan suatu laku destruksi kreatif:
menghancurkan objek kritik sekaligus mengubahnya jadi baru. Dengan
demikian, kritik meniscayakan adanya kebaruan. Dan dalam kebaruan itu
kita temukan pembebasan. Itulah dimensi progresif dari kritik. Kritik
sebagai emansipasi—itulah juga yang dikerjakan Marx dengan program
kritik ekonomi-politiknya: menunjukkan dasar-dasar sistem
ekonomi-politik kapitalis untuk kemudian membukakan jalan bagi
transformasi radikal atasnya. Dari kritiklah sosialisme dibangun.
Namun apakah yang terjadi dengan sikap kritis kita belakangan ini?
Entah lewat para kritikus-ideologi maupun orang-orang pasca-modernis,
entah lewat Kolakowski ataupun Lyotard, entah via Frankfurt
maupun Paris, kita didorong untuk sampai pada keyakinan bahwa kritik
mesti ‘diradikalkan’: kita mesti kritis terhadap sikap kritis kita. Kita
didorong untuk percaya bahwa pretensi totalisasi dalam kritik justru
harus dikritik. Dengan kata lain, kita dipaksa mengiya-iya pada dogma
bahwa segala bentuk totalitas mesti ditinggalkan karena manusia adalah
makhluk yang secara hakiki fragmentaris, secara kodrati berkekurangan.
Di bawah panji ‘filsafat kurang’ ini, kita digiring untuk meninggalkan
semua harapan pada emansipasi total yang dikandung dalam ide-ide
Marxisme. Di bawah panji itu juga kita ditarik untuk yakin bahwa
sosialisme adalah pelanggaran HAM, bahwa Marxisme adalah
totalitarianisme—bahwa emansipasi radikal hanyalah utopia yang memakan
banyak korban jiwa.
Di sini kita saksikan paradoks. Apa yang awalnya bermula sebagai
kritik atas segala batas dan belenggu justru berakhir pada pembatasan
atas segala kritik total. Paradoks ini sudah bisa kita jumpai dalam
‘filsafat kritis’ Immanuel Kant. Baginya, menjadi modern berarti menjadi
kritis—dan itu artinya: menjadi sadar dan maklum pada batas-batas
pengetahuan kita sendiri. Pemahaman Kantian tentang kritik inilah yang
nantinya dikawinkan dengan pengertian Marxian oleh Horkheimer dan
Adorno. Manusia modern adalah manusia yang dengan kemampuan totalisasi
rasionya dalam menjaring realitas justru pada akhirnya menjaring dirinya
sendiri, membuat dirinya terasing, mengembara tak tentu arah seperti
Odisius menuju Ithaka yang selalu hilang dari ujung cakrawala. Akhirnya,
pemahaman Kantian inilah juga yang melandasi pemikiran
pasca-modernisme Derrida dan Lyotard. Mereka, pada dasarnya,
menggabungkan filsafat Hegelian tentang ‘relasi-relasi internal’ (yakni
paham bahwa hakikat sebuah ikhwal secara inheren ditentukan dalam
hubungannya dengan ikhwal lain) yang dibaca dalam optik filsafat bahasa
Saussurean dengan pemahaman Kantian tentang das Ding an sich yang senantiasa luput dari jerat bahasa/pemikiran. Sehingga yang tersisa adalah perayaan atas kesemuan-kesemuan (simulacra)
sambil tetap berharap pada kesejatian yang terus luput di horison.
Demikianlah, kritik jadi punah dalam perayaan kekurangan manusia, dalam
perayaan keterbatasan kritik. Apa yang mulanya dihidupi sebagai
emansipasi justru diakhiri sebagai pembelengguan atas nama rasa ‘tahu
batas’ di hadapan Sang Maha Misteri.
Inilah alasan mengapa abad pasca-modern bagi saya tampak seperti
zaman romantik. Inilah zaman ketika rasionalitas dan keilmiahan dianggap
totaliter, sementara intuisi, sentimen moralis dan cara berpikir yang
penuh teka-teki, yang penuh spekulasi, dianggap sebagai satu-satunya
penanda kemanusiawian kita. Itulah alasan mengapa kegalauan hati pemuda
Werther, kegilaan imajiner Don Quixote dan dilema eksistensial Baron
von Münchhausen begitu memikat kita. Semua yang seolah mengelak dari
birokrasi rasionalitas kita anggap luhur. Semua yang tak terengkuh
totalisasi saintifik kita kuduskan sebagai Misteri. Dengan begitu,
kritik sebagai saudara kandung rasionalitas menganulir dirinya ke dalam
paranoia terhadap rasionalitas sekaligus fetisisme terhadap takhayul.
Kesimpulannya: setiap kritik romantisis atas kritik niscaya berakhir
dalam pembubaran kritik sama sekali. Tak ada kritik romantik atas
kritik, yang ada hanya desas-desus romantik atas kritik—desas-desus
bahwa Sosialisme Ilmiah adalah totalitarianisme, kejahatan terhadap
kemanusiaan, fasisme sosial dan semua umpatan yang mampu dipikirkan oleh
inteligensia “kritis” kita.
Maka itu, kritik spekulatif atas kritik mesti ditransformasi menjadi
kritik ekonomi-politik atas kritik apabila kritik yang berarti masih
mau dimungkinkan sama sekali. Sebab setiap kritik spekulatif adalah
kritik ornamental—ia mengkritik bentuk-bentuk penampakan (Erscheinungsformen)
tapi sekaligus bungkam terhadap landasan yang darinya bentuk-bentuk
penampakan itu mengada. Kritik ekonomi-politik adalah kritik atas
fondasi yang darinya kritik-kritik yang lain bertumbuh. Jadi kritik
romantik atas alienasi hakikat-diri manusia mesti ditransformasi menjadi
kritik ekonomi-politik yang membongkar dasar-dasar kenyataan. Dari
pembongkaran dasar inilah kesan tentang alienasi hakikat individu dapat
ditelanjangi sebagai ilusi optik yang menyembunyikan kenyataan
penindasan kelas.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa setiap Goenawan Mohamad yang
berdiam dalam kritik abstrak atas hilangnya kedaulatan individual di
hadapan sistem dengan sendirinya anti-Marxis, betapapun ia bermain-main
dengan istilah-istilah Marxisme. Goenawan Mohamad-Goenawan Mohamad
zaman kita telah keliru pada satu segi yang mendasar dalam kritik
mereka: mereka merancukan relasi antara kritik atas totalitarianisme
dan kritik atas kapitalisme. Ketimbang melihat kritik atas
totalitarianisme sebagai bagian dari kritik atas kapitalisme, ketimbang
memandang fenomena alienasi manusia sebagai akibat dari kapitalisme,
mereka justru membalik persoalan—kritik atas kapitalisme adalah bagian
dari kritik atas totalitarianisme dan bahwa kapitalisme adalah hasil
dari alienasi manusia sebagai faktisitas—dan dengan demikianmempsikologiskan persoalan yang mulanya politis atau
dengan kata lain, meromantisir penindasan kelas dengan
mengindividualkan persoalan yang sejatinya struktural. Kritik atas
totalitarianisme akan selamanya abstrak dan spekulatif selama
totalitarianisme dimengerti sebagai fenomena universal ketertindasan
manusia di dalam Sistem, entah apa persisnya Sistem itu.
Dalam Marxisme dan ‘Aku’, Goenawan berbicara tentang
alienasi untuk kemudian menulis bahwa “Marx [...] hanya separuh benar.
Modal memang sebuah kekuasaan/kekuatan sosial, tapi kekuatan sosial
tidak identik dengan modal. Bukan ada dan bertautnya modal dalam kelas
itu yang penting, melainkan hadirnya kekuasaan lain, kekuasaan politik,
yang seakan-akan berdiri sendiri, menyisihkan manusia darinya.”[2]
Dengan kata lain, bukan kapitalisme yang penting untuk dipersoalkan,
melainkan totalitarianisme. Kapitalisme, karenanya, dipandang sebagai
kasus khusus dari totalitarianisme saja. Atas landasan inilah kemudian,
seperti yang dengan gampang kita duga, ia bicara tentang alienasi di
negeri-negeri komunis: di RRC akibat kultus Mao, di Soviet akibat kultus
Stalin dan di seluruh belahan bumi komunis. Begitu kapitalisme
dirumuskan sebagai varian dari totalitarianisme, dan bukan sebaliknya,
maka Marxisme akan direduksi pada ideologi humanitarian-borjuis yang,
pada analisis terakhir, dipakai untuk melikuidasi Marxisme itu
sendiri—sebagai totalitarianisme, sebagai pelanggaran HAM, sebagai
birokratisme-kolektivisme. Artinya, dengan mereduksi kritik atas
kapitalisme menjadi kasus khusus dari kritik atas totalitarianisme,
setiap Goenawan Mohamad zaman ini menggiring kita diam-diam untuk
mencurigai Marxisme itu sendiri. Goenawan menjalankan strategi
penggusuran teoretik ini dengan bersembunyi di balik panji kutipan
Marx: de omnibus dubitandum (“meragukan segalanya”).[3]
Tujuan strategis dari pengutipan ini adalah untuk membuat kritisisme
Marxian jadi reflektif, dengan kata lain menghantam Marxisme itu
sendiri, yakni dengan mendelegitimasi segala capaian material dari
Marxisme di abad ke-20 dengan anggapan bahwa kaum Marxis tak lagi
kritis terhadap Marxisme itu sendiri. Goenawan, dengan mengangkat motto
Marx, berbicara pada kita: setiap Marxis mesti kritis terhadap apapun
termasuk Marxisme dan kritis berarti mengambil jarak, mengevaluasi dari
sudut pandang eksternal. Dibahasakan secara lain, inilah ajaran
‘Marxis’ Goenawan Mohamad: setiap Marxis mesti punya kegagah-beranian
untuk menjadi anti-Marxis, untuk bunuh-diri atau ganti profesi.
Konsekuensinya, bagi Goenawan, esensi dari Marxisme adalah pembubaran Marxisme.
Dengan kesadaran atas implikasi politik dari ‘operasi teoretik’
Goenawan inilah juga kita mesti mencermati pemakaian sistematisnya atas
konsep ‘alienasi’ dalam Marx. Goenawan mengunci Marxisme ke dalam
kerangka proyek penghapusan alienasi manusia. Karena alienasi
dimengertinya sebagai ‘dehumanisasi’,[4] maka proyek Marxisme adalah proyek humanisasi. Di sini Marxisme dipakainya untuk membenarkan ajaran humanisme universal à la Sjahrir
sekaligus untuk menganulir pencapian Marxisme historis, seperti Uni
Soviet dan Cina, dengan menempatkannya dalam kerangka alienasi baru,
yakni birokratisme partai. Untuk itu ia mengutip karya Milovan Djilas, Kelas Baru,
yang pernah diterjemahkan ke bahasa Indonesia di tahun 50-an oleh
Mochtar Lubis dalam rangka memerangi PKI. Model pembacaan seperti itu
hanya mungkin bila Goenawan melepaskan konsep alienasi Marx dari akar
ekonomi-politiknya. Dan memang itulah yang ia lakukan, misalnya dengan
menempatkan alienasi dalam kerangka Weberian tentang rasionalitas
instrumental untuk kemudian menyimpulkan bahwa Marx masih menggunakan
rasionalitas jenis itu dan secara tidak langsung menyimpulkan bahwa
pemikiran Marx sendiri memang alienatif.[5]
Inilah juga yang ia jalankan ketika dinyatakannya, seperti yang
dikutip di muka, bahwa Marx hanya separuh benar, bahwa kapitalisme
bukanlah persoalan utama melainkan justru totalitarianisme. Dengan
begitu, Goenawan melokalisasi persoalan alienasi pada aras kebudayaan
sambil mengabaikan akar ekonomi-politik dari alienasi tersebut.
Akibatnya, ia dengan mudah berakhir dalam kritik spekulatif atas Sistem
yang ‘menindas’, tanpa pernah jelas apa persisnya Sistem itu, tanpa
pernah jelas problematik dari ‘penindasan’ itu.
Marx mengajarkan kita untuk spesifik. Ia mengkritik kapitalisme
sebagai sebuah sistem dengan elemen-elemen spesifik yang tak bisa
dipukul rata dengan feodalisme ataupun dicampurkan dengan semua modus
produksi lain ke dalam suatu citraan imajiner-paranoid bernama
totalitarianisme. Yang Marx persoalkan bukan Sistem yang abstrak
melainkan sistem yang konkrit dan tertentu, yang Marx persoalkan bukan
Manusia yang universal melainkan manusia dalam konfigurasi sosialnya
yang spesifik. Berhenti pada kritik abstrak-humanitarian atas
Totalitarianisme sama artinya dengan mundur kembali ke pemikiran kaum luddite yang merusak mesin-mesin pabrik karena menganggap Mesin itulah sumber penindasan.
Demikianlah kritik dan emansipasi menjadi kebalikannya. Di tangan
Goenawan Mohamad, kritik digiring oleh litani kefanaan dan kedhaifan
manusia. Dengan giringan itu, pembebasan melalui kritik justru berubah
jadi pembebasan dari kritik: membebaskan realitas dari
kritik—dengan kata lain, membiarkan segala sesuatunya ada sebagaimana
mestinya. Emansipasinya, oleh karena itu, sejatinya berarti membebaskan
pikiran berkelana dalam enigma dan teka-teki seraya membiarkan realitas
berjalan seperti biasanya. Tenggelam dalam mimpi tentang emansipasi
murni namun sekaligus membungkam kritik totalistik atas kenyataan yang
ada. Kritik di tangannya menjadi sejenis “kritik panti jompo”, yakni
kritik yang ditujukan untuk menghalang-halangi setiap kritik radikal
atas realitas. Di sini kita menemukan kesamaan antara cara berpikirnya
dengan posisi borjuis Prusia di sekitar Revolusi Maret 1848:
tanpa kepercayaan pada diri mereka sendiri, tanpa kepercayaan pada rakyat, menggerutu terhadap yang di atas, merinding terhadap yang di bawah, egoistik terhadap kedua belah pihak dan sadar akan egoismenya, revolusioner dalam relasinya dengan yang konservatif dan konservatif dalam relasinya dengan kaum revolusioner, tak percaya kepada mottonya sendiri, penuh frase ketimbang ide, merasa terintimidasi oleh badai zaman, mengeksploitasi badai zaman, tak bersemangat di segala bidang, plagiarisme di segala bidang […] seorang jompo yang memandang dirinya terkutuk untuk membimbing dan mengalihkan dorongan-dorongan muda rakyat ke dalam kepentingan kolotnya sendiri—tanpa mata, tanpa telinga, tanpa gigi, tanpa apapun—itulah borjuasi Prusia yang berdiri di sekitar tahta negara Prusia sesudah Revolusi Maret.[6]
Di tangan Goenawan Mohamad, pada akhirnya, sikap kritis jadi tak terbedakan dari sikap nrimo: menerima kedhaifan manusia, ‘kelemah-syahwatan’ manusia, dan mengkritik dalam batas-batas kedhaifan itu.
Revolusioner dalam relasinya dengan yang konservatif dan konservatif
dalam relasinya dengan kaum revolusioner—itulah tipe umum setiap
Goenawan Mohamad zaman kita. Revolusioner dalam relasinya terhadap kaum
fundamentalis religius tetapi konservatif dalam relasinya dengan kaum
Marxis. Jika pada mulanya adalah kedhaifan, maka pada akhirnya adalah kritisisme nanggung, suatu semi-kritisisme—atau dengan kata lain, bukan kritisisme sama sekali melainkan kepasrahan.
2. Emansipasi atau Konservasi?
Dari paparan di muka, jelas bahwa Goenawan Mohamad bukan seorang
Marxis. Tentu, tanpa perlu membaca tulisan inipun kita sudah bisa tahu
bahwa ia memang bukan Marxis. Namun dalam tulisan-tulisannya—khususnya
yang terkumpul dalam buku Marxisme, Seni, Pembebasan—ia nampak
seperti sedang menjadi Marxis seraya menunjukkan alternatif lain untuk
menjadi Marxis, yakni dengan menghindari Marxisme-Leninisme.[7]
Ujung-ujungnya kita ditarik keluar dari Marxisme sama sekali ke dalam
sejenis demokrasi sosial Fabian, ke dalam sebentuk sosialisme utopis.
Dalam kerangka itu, kritik di muka perlu. Akan tetapi, kalaupun ia
menghindar dengan menyatakan bahwa dirinya memang tidak berpretensi
jadi Marxis, baiklah saya siapkan juga kritik untuk itu. Tentu tidak
sepenuhnya fair untuk mengkritik posisi non-Marxis berdasarkan
kriteria Marxis semata. Maka itu, satu-satunya syarat untuk
melancarkan kritik yang sah dan telak atasnya adalah dengan menyelam ke
dalam logika internalnya dan membuktikan berdasarkan kriteria
internalnya sendiri bahwa pemikiran non-Marxis Goenawan Mohamad tentang
emansipasi adalah keliru. Inilah yang akan kita jalankan.
Apakah filosofi dasar Goenawan Mohamad? Keseluruhan pemikirannya
adalah litani tentang ketakmurnian, keberlainan dan kedhaifan manusia.
Konteks historisnya kita sudah tahu: Goenawan Mohamad sebagai bagian
dari seniman yang diorganisir oleh PSI yang sedang kalah angin dari PKI
di tahun 60-an. Karena konteks historis itulah tidak aneh jika ia
begitu menekankan kegalauan hati individu di hadapan Sistem (entah
birokrasi maupun revolusi), sebagaimana yang tercermin dalam puisi dan
tulisan-tulisannya di tahun 60-an. Dengan masuknya ide-ide
pasca-strukturalisme dan pasca-modernisme di Indonesia, lirisisme
individual Goenawan Mohamad seakan mendapatkan pembenaran teoretiknya.
Individu itu kini disamarkan dalam nama “yang-lain”, atau liyan sebagaimana Goenawan menjawakannya. Ada yang lain dari Sistem, yang lain ditekan di balik penampakan Sistem: sesuatu yang obscene di balik scene yang
tampak kukuh dan padu. Yang lain itu adalah individu dalam keunikan
dan kerapuhannya, yang tak bisa sepenuhnya dipukul-rata dalam kategori
umum, seperti misalnya massa. Itulah mengapa pasca-modernisme—dengan
segala glorifikasi repetitif yang nyaris jargonistik atas
yang-lain—diterima oleh Goenawan Mohamad sebagai pembebasan. Sehingga
jalan keluar ke arah pembebasannya adalah doktrin Heideggerian tentang
kepasrahan meditatif (Gelassenheit) yang implisit dalam wacana
pasca-modern, khususnya Derrida. Dengan kata lain, membiarkan yang-lain
tampil dalam keberlainannya.[8] Di situ kita temukan visi emansipasi Goenawan Mohamad.
Namun apa yang membuat emansipasi emansipatif? Apakah membebaskan
yang-lain adalah suatu pembebasan? Tentu saja ya, bila kita berhenti
pada terminologi—itu sama saja seperti menanyakan: apakah hijau adalah
hijau? Keketatan berpikir setiap Goenawan Mohamad zaman kita tak pernah
melampaui tautologi ini: pembebasan dengan sendirinya membebaskan.
Mereka tak pernah repot-repot bertanya: yang-lain yang mana? Mereka tak
pernah mencoba lebih spesifik: siapakah yang-lain itu, terbebas dari
apakah dia dan terbebas untuk melakukan apa? Mereka tak pernah beranjak
lebih dari sekedar jawaban: bebas dari Sistem yang menindas. Inilah
dimensi abstrak dan spekulatif yang inheren dalam wacana mereka.
Persoalannya dengan gampang diketengahkan: bagaimana jika yang-lain itu
adalah Hitler, mestikah kita “membiarkannya tampil dalam
keberlainannya”? Kalau tidak, maka tidakkah kita lantas mesti
berkesimpulan bahwa—memparafrasekan George Orwell sekaligus
menodongkannya padanya—ada yang-lain yang lebih lain ketimbang yang-lain dan ada pula yang kurang lain daripada yang-lain?
Inilah juga kebuntuan yang tak terjawab oleh setiap
libertarian-humanis yang begitu memuja-muja kedaulatan dan keunikan
individu di atas Sistem dengan mengutuk-sumpahi Sistem sebagai
totaliter dan tidak manusiawi (baca: tidak sesuai dengan asumsi mereka
tentang kodrat manusia sebagai individu-pemilik). Mereka lupa, atau
sengaja menyembunyikannya dari pembaca, bahwa emansipasi yang-lain
secara umum dari Sistem apapun, dalam kondisi sekarang, hanya berarti
satu hal: kemenangan fundamentalisme pasar—kebebasan dari intervensi
sistem negara atau sistem kolektif kerakyatan apapun. Sampai di sini
kita baru mengerti pentingnya bertanya: apa yang emansipatif dari
emansipasi?
Tentu saja, setiap Goenawan Mohamad bisa mengelak: saya tidak
mendukung fundamentalisme pasar, neoliberalisme atau apapun namanya,
saya hanya mendukung pembebasan atas yang-lain untuk tampil dalam
keberlainannya. Dibahasakan ulang: mereka tidak setuju pada
fundamentalisme pasar tapi setuju pada asumsi dasarnya. Inilah yang
dimaksud dengan berontak terhadap bentuk-bentuk penampakan kapitalisme
namun sepakat dengan conditio sine qua non (syarat kemungkinan)
dari adanya kapitalisme. Gaya argumentasi ini sebetulnya tidak seasing
kelihatannya. Argumentasi ini muncul dalam setiap pemikiran yang
mengkritik ekses-ekses negatif dari kapitalisme—alienasi individu,
komersialisasi kehidupan publik, leburnya masyarakat warga dengan
pasar—tapi ikut mendukung syarat-syarat adanya kapitalisme itu sendiri:
kepemilikan privat, asumsi antropologi-filosofis tentang self-interest sebagai
kodrat manusia dan ide tentang individualitas yang diturunkan darinya.
Ibaratnya: mereka bertidak-sepakat secara heboh tentang daun-daun
tetapi setuju dengan keberadaan pohon itu sendiri. Dengan begitu, tak
ada yang perlu diubah selain “nuansa”-nya. Emansipasi Goenawan Mohamad,
karenanya, adalah suatu emansipasi dari emansipasi; melaluinya, kita terbebas secara intelektuil dari pembebasan nyata. Akhirnya,
kalaupun Goenawan Mohamad bukan seorang Marxis, barangkali ia seorang
Tengah dan melalui argumentasi di muka telah jelas bahwa esensi dari Tengah adalah Kanan, sebagaimana esensi dari emansipasi tautologis adalah emansipasi dari emansipasi.
3. Emansipasi dari Goenawan Mohamad
Di Indonesia pasca-65, kita akan sulit menemukan adanya ajaran Marxisme. Yang kita temui lebih banyak adalah ajaranmoral-humanistik tentang
penindasan dan semangat anti-otoritarianisme yang meliputinya. Tentu
saja, dengan pernyataan ini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa
Marxisme berposisi anti terhadap etika ataupun nilai kemanusiaan. Yang
saya persoalkan adalah metode. Humanisme dan moral tidak memiliki ‘peran penjelas’ (explanatory role) dalam Marxisme. Tentu keduanya dapat hadir sebagai ‘motif-motif tambahan’ (auxilliary motives)
bagi perjuangan seorang Marxis, akan tetapi dalam melihat sebuah
situasi seorang Marxis tidak memberikan putusan-putusan moral
atasnya—misalnya bahwa “kapitalisme itu kejam dan tidak
berperikemanusiaan”—melainkan menghadirkan suatu pemahaman konkrit
tentang hubungan-hubungan ekonomi-politik yang menjadi syarat bagi
tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Dengan itu, saya hanya mau
menekankan bahwa Marxisme bukanlah sejenis ‘sains moral’ melainkan
sebuah sains revolusioner dalam artinya yang paling utuh. Di Indonesia pasca-65, Marxisme yang kerapkali kita
jumpai adalah sebagai ‘sains moral’. Apa yang dinamai dengan ‘Goenawan
Mohamad’ dalam tulisan ini adalah representasi dari tren umum
tersebut.
Itulah juga sebabnya kenapa gerakan pembebasan yang berlandaskan pada
Marxisme tak dapat sepenuhnya mengejawantahkan potensi revolusionernya
di Indonesia pasca-65. Gerakan Marxis pasca-65 tidak berkembang bukan
karena Marxisme-Leninisme dilarang pemerintah. Ia tak berkembang karena
tidak pernah dilakukan suatu rekonstruksi atasmetode Marxis yang
ketat dalam analisis situasi. Yang kerap kita jumpai justru retorika
moralis yang berapi-api namun sejatinya membuat kontradiksinya kabur.
Seolah berbicara tentang ‘Penindasan’, ‘Penghisapan’, sudah membuat
segalanya jelas dengan sendirinya—sama seperti model ‘emansipasi
tautologis’ yang diurai di muka. Tentu di sini saya tidak mempersoalkan
diksi yang digunakan dalam suatu aksi massa, sebab diksi itu ditentukan
oleh kekhasan massa dan tak ada yang salah dengan itu. Yang saya
persoalkan adalah kategori pembacaan situasi yang ada dalam pikiran para
kader gerakan Marxis. Ketika retorika moralis secara tak disadari
berubah jadi metode pembacaan situasi, problemnya segera mengemuka:
realitas tidak berjalan sesuai dengan moral narasi kita dan akibatnya
semakin kita berbicara semakin jauhlah kita dari akar kontradiksi yang
nyata di dalam masyarakat yang mau kita ubah. Maka itu, Marxisme mesti
dikembalikan pada hakikat dasarnya, yakni sebagai sains revolusioner dan
bukan sains moral. Itu artinya, semua kategori retoris-moralis
(‘alienasi’, ‘ketertindasan di bawah Sistem yang menghisap’,
‘dehumanisasi’, dst.) harus dapat direfrase atau dirumuskan ulang ke
dalam pernyataan yang ilmiah, yang mengemukakan kesalinghubungan antar
elemen dalam situasi dan titik kontradiksinya agar kemudian kita dapat
berpikir tentang emansipasi yang nyata. Mandeknya Marxisme ke dalam
retorika moralis itulah juga yang menjelaskan mengapa disorientasi
kader-kader Kiri, khususnya pasca-98, menjadi fenomena yang massif.
Ketiadaan pemahaman tentang kespesifikan metode Marxis, ketiadaan
pengertian yang realis tentang situasi politik, itulah yang
pada akhirnya menjelaskan mengapa busa-busa retorika moralis tentang
‘Penindasan’ itu dengan cepat berfermentasi menjadi buih-buih retorika
moralis tentang ‘Keanekaragaman’ dan ‘Kedaulatan Individu’. Singkatnya:
tanpa metode Marxis tak akan ada gerakan revolusioner Marxis yang
sesungguhnya.
Berangkat dari analisis dalam tulisan ini, kini tiba waktunya untuk
memberikan simpulan umum. Kesimpulan yang akan saya tarik adalah ini:
prasyarat ideologis dari emansipasi nyata di Indonesia adalah
emansipasi dari Goenawan Mohamad, dari setiap cercah Goenawan Mohamad dalam diri kita. Singkatnya: syarat kemungkinan dari emansipasi Indonesia adalah emansipasi dari Goenawan Mohamad. Kita
masih dapat menyaksikan banyak cara berpikir Goenawan Mohamad dalam
politik kita. Manakala kita mengelirukan relasi antara kritik atas
kapitalisme dengan kritik atas totalitarianisme, maka kita terjatuh pada
wacana romantik Goenawan. Manakala kita membalik logika “kapitalisme
itu jahat karena ia bermasalah” menjadi logika “kapitalisme itu
bermasalah karena ia jahat”, maka kita terjatuh pada moralisasi Marxisme
seperti dalam wacana alienasi Goenawan. Manakala kita asyik
berselancar dalam abstraksi tinggi dan generalisasi spekulatif tentang
Humanisme seraya melupakan perbedaan spesifik dalam masyarakat dan
kelas-kelasnya, maka kita terjatuh pada ilusi Hegelian-borjuis tentang
rekonsiliasi universal yang implisit dalam pemikiran Goenawan. Manakala
kita mengajukan problem emansipasi secara seakan jelas dengan
sendirinya dan sepenuhnya mengabaikan syarat materialisasinya, maka
kita terjatuh dalam emansipasi model Goenawan: pembebasan atas ide-ide
yang akan menjadikan pembebasan realitas tidak mungkin. Maka itu,
berpikir tentang emansipasi di Indonesia berarti berpikir tanpa Goenawan Mohamad.
Apa yang kita butuhkan bukanlah kritik parsial atas Goenawan Mohamad.
Agar mampu berpikir tentang relasi kritik dan emansipasi dalam
kepenuhannya, apa yang kita perlukan adalah suatu “patahan
epistemologis”, une coupure épistémologique, terhadap cara berpikir Goenawan Mohamad—sebuah patahan baik terhadap isi wacana maupun metode eksposisi-nya. Apa yang kita perlukan adalah sebuah kritik sinoptik, sebuah kritik total yang menyeluruh dan dari berbagai sudut, atas
setiap Goenawan Mohamad: kritik atas ‘filsafat kurang’, kritik atas
moralisasi politik, kritik atas lirisisme estetik, kritik atas humanisme
(kedhaifan) universal, kritik atas kritik totalitarianisme dan kritik
atas emansipasi tautologis. Dalam tulisan ini saya baru menjalankan dua
kritik terakhir. Namun saya pikir dua kritik terakhir dapat menjadi
dasar yang kuat bagi kritik sinoptik atas segala bentuk Goenawan
Mohamad. Dengan bersenjatakan kritik yang tak mudah ditekuk ke dalam
pasrahisme dan dengan mengerti kekeliruan visi emansipasi
abstrak-tautologis, kita akan menang walau berhadapan dengan
berjuta-juta Kolakowski dan bermilyar-milyar Goenawan Mohamad.
***
Artikel ini nantinya akan terbit di Jurnal Problem Filsafat No. 10, oleh Komunitas Marx. Diterbitkan di sini untuk tujuan Pendidikan.
Martin Suryajaya, Aktif bergiat di Komunitas Marx, Jakarta
Inilah Jawaban Goenawan Mohamad....
Kritik Martin terhadap pemikiran saya bertolak dari beberapa asumsi
yang sayang sekali tak punya dasar, berkenaan dengan latarbelakang
pemikiran itu – dan menunjukkan ia tak melihat kesejarahan secara tepat
dari sebuah ide.
1. Premis Martin: saya pasti memusuhi Marxisme. Dasarnya: “Goenawan Mohamad sebagai bagian dari seniman yang diorganisir oleh PSI yang sedang kalah angin dari PKI di tahun 60-an.” Atau: “Kita tahu dia menulis dari awal tahun 60-an dari perspektif PSI yang begitu ketakutan terhadap PKI.”
“Kita tahu…”. Tapi rupanya Martin tidak tahu.
Ketika saya masuk ke gelanggang penulisan di tahun 1960-an, PSI sudah tak ada. PSI sudah jadi “partai terlarang” sejak saya masih di SMA. Saya tak pernah membaca karya Syahrir termasuk “Perjuangan Kita” – apalagi itu termasuk buku yang dilarang — sebelum tahun 1970-an. Syahrir sendiri sudah dipenjarakan. Saya mengenal Syahrir lebih intensif kemudian, terutama dari biografi yang ditulis Rudolf Marazek (1994). Saya berteman dengan beberapa kader PSI, atau yang saya duga demikian, tapi PSI sendiri sebagai partai — juga sebuah partai kecil — sudah lumpuh. Orang ketakutan kalau dianggap “PSI”. Mereka paria politik waktu itu. Kampanye mengganyang mereka sangat intensif hingga PSI jadi sebuah stigma. Sampai sekarang.
Entah mengapa, stigma itu juga dilekatkan kepada inteligensia yang tak jelas partainya – dan dalam generasi saya itu cukup banyak: Arief Budiman, Marsillam Simanjuntak, Nono Makarim, dan lain-lain. Mereka sering dianggap ‘PSI’ tapi sama sekali bukan orang PSI. Dari kelompok generasi itu, yang dekat dengan PSI (sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis) adalah mendiang Soe Hok Gie.
Bahkan generasi sebelumnya demikian juga: Mochtar Lubis, yang sering dianggap PSI, juga bukan orang PSI – malah pernah menulis editorial di Indonesia Raja yang mencemooh orang-orang mantan PSI yang suka mengklaim seseorang itu sebagai ‘orang kita’.
Satu hal perlu ditambahkan, ada yang tak jelas pada Martin. PSI punya dasar Marxisme, sebagai partai sosial-demokrat; maka seandainya saya seperti diduganya, “diorganisir PSI”, tentunya saya tak akan punya anathema terhadap Marxisme. Kecuali jika Martin menganggap PSI bukan Marxis…
Kekurangan serius Martin adalah bahwa ia – yang lahir setelah masa itu — tak menelaah sejarah pemikiran Indonesia dari masa tahun 1960-an, apalagi secara teliti.
2. Martin bertolak dari asumsi bahwa saya penganut “humanisme universal”. Tapi rupanya Martin tak mengerti bahwa sejarah pengertian ini dalam pemikiran (sastra) Indonesia tidak linear.
Penganjur utama “humanisme universal” adalah H.B. Jassin, tapi seperti dalam suratnya di tahun 1950 (dimuat dalam buku “Kritik dan Esei”, jilid I). Jassin sendiri menyerang ‘”humanisme universal” yang hendak disuarakan majalah Gema Suasana yang dikelola Asrul Sani dan Chairil di tahun 1946: sebuah pandangan yang menurut Jassin jauh dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Jassin kemudian punya pengertiannya sendiri tentang “humanisme universal” yang sering dipertahankannya. Tapi seperti disebut dalam teks “Manifes Kebudayaan”, (Jassin ikut merumuskan dan menandatanganinya), pengertian ini tidak satu. Yang dipilih para penandatangan “Manifes Kebudayaan” adalah pengertian ini:
“…bahwa kebudayaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati nilai-nilai universal, bukan semata-mata temporal, tetapi juga menghayati nilai-nilai eternal.”
Kalimat itu, bagi saya, yang ikut merumuskan naskah itu, mengandung pandangan tentang universalitas yang berbeda dengan pandangan Kant. Dalam pengertian saya, jika yang universal adalah sesuatu yang transendental, maka itu adalah “transendental” dalam pengertian yang tak lepas dari sejarah, dari ruang dan waktu. Di sini baiklah saya perkenalkan pengertian Terry Eagleton dalam “On Evil” tentang bentuk transenden yang bukan “vertikal”, melainkan “horisontal”. Menurut Eagleton (dia juga Marxis, lho), transsenden yang horisontal terjadi karena:
“there is no necessary conflict between the historical and the transcendent, it is because history itself is a process of self-transcendence. The historical animal is one who is constantly able to go beyond itself.”
Dengan kata lain, universalitas, sesuatu yang transendental, tumbuh dari pergulatan sejarah. Dalam perspektif inilah Marx menganggap proletariat sebagai kelas yang “universal”: universal dalam arti mewakili kelas yang tertindas di seluruh dunia dan universal dalam gagasan emansipasinya: terbentuknya masyarakat manusia tanpa kelas, “sebuah wilayah masyarakat yang tak lagi bisa mengklaim satu tempat kesejarahan, melainkan manusia sebagai satu.” (lihat “Early Writings”, terbitan Penguin Books, 1975, hal. 254 dan 256).
Tapi Marx tak pernah melepaskan pandangan bahwa “tempat kesejarahan” itu sesuatu yang niscaya. Dengan perspektif seperti itu juga Laclau, misalnya, kemudian mengembangkan argumen tentang “universalitas yang tak satu”.
3. Martin juga berasumsi bahwa saya sepakat dengan pandangan kaum pasca-modernis atau “pasca-strukturalis”. Sampai derajat tertentu ada benarnya. Bagi saya, pandangan pasca-strukturalis, yang merayakan perbedaan, memang punya peran dalam melawan pandangan yang mengukuhkan struktur yang “integralistik”, seperti Indonesia dalam pandangan Orde Baru, juga menolak gagasan kekuasaan yang totaliter dalam Naziisme, Fascisme atau Stalinisme.
Tapi saya juga punya kritik terhadap pandangan pasca-strukturalis. Pertama: pandangan ini menampik tiap bentuk universalitas. Ini, (terutama dalam premis Lyotard di awal), bukan saja keliru, tapi tak membuka jalan bagi pergerakan politik yang pada suatu titik memerlukan konsensus dan kohesi, bukan merayakan perbedaan semata. Kedua, pandangan pasca-strukturalis yang merayakan perbedaan itu tak menunjukkan adanya pengakuan akan dialektika. Seperti saya tulis dalam Catatan Pinggir dalam salah satu majalah Tempo bulan Juli 2011:
“Politik dewasa ini sering mendesakkan agar kita menghargai kearifan lokal, identitas-identitas yang berlainan, atau keunikan sebuah kaum. Yang tak disadari, sikap ini bisa berakhir dengan politik yang, seperti sikap konservatif, tak menghendaki transformasi. Seakan-akan tak ada konflik dalam sejarah. Seakan-akan tak ada dialektik, seakan-akan perbedaan dalam hidup ibarat dua sisi rel kereta api yang sejajar, tak bertaut, maka tak akan bertabrakan.”
Di samping asumsi-asumsi yang keliru atau setengah keliru itu, Martin tak menyukai argumen saya, bahwa Marx “hanya separuh benar” dan bahwa “kekuatan sosial tidak identik dengan modal”.
Tapi dalam sejarah memang ada kekuatan sosial yang tanpa modal: para ulama atau brahmana di dusun-dusun – dan juga para pengurus Partai Komunis di Uni Soviet dan RRC.
Martin tak mencatat, mungkin tak mau melihat, bahwa “negara sosialis” telah melahirkan “kelas baru” tanpa modal: nomenklatura yang punya privilese – yang dipegang orang Partai. Milovan Djilas, bekas tokoh Partai Komunis Yugoslavia (yang bukunya, “The New Class”, dalam versi Inggris, di tahun 1962 saya dapat diam-diam dari seorang teman Yugoslavia yang berkunjung ke Indonesia) sudah menunjukkan itu. Beberapa dasawarsa kemudian sinyalemen yang sama dikukuhkan oleh Mao Zhdong: ia mengerahkan “massa” untuk menggempur markas besar Partai Komunis Cina – yang dianggapnya telah jadi kekuasaan musuh “massa”. Di tahun-tahun selanjutnya kita lihat perlawanan kaum buruh Polandia terhadap Partai Komunis yang berkuasa – satu konflik yang tak bisa dijelaskan sebagai perlawanan buruh terhadap kekuasaan modal. Dengan kata lain: dalam pengalaman sejarah, kekuasaan yang tak disertai modal sebagai milik privat bisa juga menimbulkan alienasi.
Saya tak tahu apakah Martin pernah dan mau membaca kesaksian orang-orang yang hidup di Uni Soviet dan Eropa Timur di masa Stalin atau bertemu dengan orang yang pernah mengalami alienasi dalam sistem itu. Dalam teksnya yang mengemukakan totalitarianisme ia tak menyebut Kambodia di bawah Pol Pot, di mana Marxisme-Leninisme dibawakan dalam bentuk totalitarianisme yang ekstrim dan berdarah. Atau Korea Utara, di mana Marxisme-Leninisme berevolusi dari nomenklatura tokoh Partai jadi aristokrasi keluarga.
Saya memang tak bisa menyamakan kapitalisme (yang bertolak dari kebebasan individu – dan tentu saja kebebasan untuk rakus) dengan totalitarianisme, yang meniadakan individu. Tak berarti kapitalisme tak penting lagi untuk dilihat sebagai sumber alienasi. Namun dalam tulisan saya itu saya sedang meletakkan satu perkara dalam fokus – yakni alienasi yang terjadi dalam negeri-negeri sosialis; itu tak berarti alienasi di tempat lain dinafikan.
Dari tulisannya saya dapat kesan, bagi Martin, kritik kepada Marx, atau kepada para penafsirnya yang resmi, harus dianggap anti-Marxis. Padahal banyak suara yang memakai bendera Marxis yang tak bebas dari kritik. Kritik itu tak berarti “anti-Marxis”: kita tak bisa mencap misalnya Trostky (kecuali bila kita Stalinis) sebagai “anti-Marxis” bila ia melawan Stalinisme yang totaliter yang telah menghukum mati praktis seluruh anggota Politbiro Partai dari masa Lenin.
Martin (yang tak saya ketahui sikapnya terhadap Stalinisme) menganggap saya bukan Marxis atau Marxis gadungan atau musuh Marxis diam-diam. Saya selalu geli bila diberi label. Saya terbiasa menulis sastra, bukan pemikir sistematik – dan sebab itu terbiasa untuk tidak bolak-balik dalam satu sistem pemikiran, apalagi siap ditentukan oleh satu “isme”. Terjebak sendiri dalam satu label itu lucu.
Tapi sikap Martin mengingatkan saya kepada sikap MUI terhadap Islam liberal dan Ahmadiyah. JIL dan Ahmadiah itu bukan Islam, kata MUI, bahkan anti-Islam. Dengan kata lain, hanya ada satu cara tafsir – baik tentang Marxisme atau Islam. Yang lain dari tafsir itu dianggap bukan, bahkan bid’ah atau “anti”. Dan yang memutuskan “bukan”, atau “anti” adalah MUI atau….Martin Suryajaya?
Namun saya tak peduli benar apakah saya “Marxis” atau bukan. Yang pasti saya bukan “born-again Marxist”, yang kemaruk Marxisme, yang selalu ingin membuktikan merk Marxisnya, dan dengan pethakilan mempertunjukkan keteguhan “iman”-nya.
Saya mengenal Marxisme sejak dini.
Pertama, karena keluarga dan pendidikan dasar saya. Saya diajari hingga hafal lagu “Internasionale” dan “Tanggal Satu Mei” sejak saya berumur 9 tahun.
Kedua, di antara 1959-1966, perkenalan dengan Marxisme sangat intensif dalam generasi saya. Berlawanan dengan generasi Martin – yang mengalami masa Orde Baru ketika Marxisme jadi ajaran terlarang — generasi saya justru diwajibkan belajar Marxisme, guna memahami ajaran revolusi Bung Karno. Bahkan HMI punya instruktur Marxisme; almarhum Ahmad Wahid yang “Pembaharuan Pemikiran Islam”-nya terkenal itu adalah salah satunya. Saya ingat ada dua teman saya, aktivis HMI juga, yang dengan tekun membaca buku Liu Shao-qi (sebelum dia dijatuhkan Mao), “How To be a Good Communist”.
Ketiga: di masa “demokrasi terpimpin” itu bacaan, buku, majalah, dan film yang masuk ke Indonesia praktis hanya datang dari Uni Soviet dan RRC. Jika mau membaca teori, mudah dan murah sekali membeli buku karya Marx, Engels, Lenin, Plekhanov, Mao Zhe-dong dan lain-lain. PKI sendiri punya penerbitan yang aktif: Ilmu Marxis, misalnya, yang bisa didapat di toko buku di kantor Partai di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Saya mengikuti itu semua dengan antusias: dalam umur antara 19 sampai 21 tahun itu saya kepingin belajar filsafat, dan buku-buku itu amat gampang diperoleh. Tak dapat saya elakkan (dan tak perlu saya pamerkan), pengaruh Marxisme berperan besar dalam masa pembentukan pemikiran itu.
Tapi saya memang tak bisa mengatakan pandangan saya, seperti Martin menyebut pandangannya, “ortodoks”. Saya anggap Marxisme itu penting, tapi hal yang lumrah saja – dan hanya jadi perkara besar yang mengerikan atau sebaliknya mempesona setelah dilarang oleh Orde Baru. Kata “lumrah” berarti Marxisme itu seperti garam bagi makanan: meresap, memberi “daya”, tapi tak kelihatan.
Namun karena lumrah, tak ada yang mencemaskan bila pada suatu taraf ketika “garam” itu terasa terlalu kuat, ia perlu dikurangi kepekatannya. Dan selalu ada unsur-unsur lain yang dicari atau secara tak langsung masuk. Apalagi bagi saya Marx bukan pemikir yang, betapapun dahsyatnya, tanpa kekurangan dan kekaburan. Tafsir terhadap pemikirannya bisa macam-macam dan bisa saling bertentangan.
Akan sia-sia andai Martin ingin jadi wali penjaga Marxisme yang murni, yang bebas dari tafsir. Marxisme yang dipahami Martin itu juga satu tafsir, bukan? Dalam sejarah Marxisme bisa terjadi bacaan yang bertentangan, misalnya antara Lucaks dan Brecht dan Bloch, atau varian yang tak lazim, misalnya dalam pemikiran Walter Benjamin.
Dalam tulisan yang sama, Martin menyerang pandangan tentang kedaifan. Saya memang sering berbicara tentang apa yang saya sebut the ethics of finitude, ethika kedaifan: pengakuan akan keterbatasan manusia sebagai subyek sejarah. Sebenarnya ini tak jauh dari pemikiran lain, dari Vattimo dan juga….Marx.
Misalnya ini bisa berkait dengan satu pandangan yang “sangat Marxis”, karena keluar dari pena Marx sendiri: “Manusia membuat sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri.” Dengan kata lain, manusia tak bisa sepenuhnya lepas dari kondisi yang ada – dan bahkan, dalam membuat perubahan, tradisi masa lalu terus saja menghantuinya.
Ethika kedaifan juga berkait dengan kritik kepada pengagungan subyek manusia (“aku” dalam humanisme Pencerahan) – juga oleh pemikir yang punya akar Marxisme, seperti Althusser dan Adorno. Bagi Althusser, “subyek” hanyalah konstruksi ideologi dan prakteknya, di mana lembaga seperti Negara, Gereja, Hukum, berperan efektif. Ia bahkan mengatakan, peran “Subyek” (dengan ‘S’) tak ada dalam sejarah.
Adorno, dengan mengritik Kant dan Hegel, meletakkan subyek tidak dalam posisi menentukan dan dominan. Subyek epistemik, menurut Adorno, adalah “sesuatu yang secara obyektif dibangun oleh masyarakatnya dan tanpa itu subyek tak mungkin ada”. Yang harus dilihat, kata Adorno, adalah Vorrang des Objekts.
Pengagungan atas Subyek ini pada dasarnya pengagungan atas “aku” yang akhirnya selalu kembali ke diri sendiri yang sama. Pandangan Adorno tentang subyek yang terkait dengan modernitas bukanlah, seperti dikatakan Martin, manusia yang “mengembara tak tentu arah seperti Odisius menuju Ithaka yang selalu hilang dari ujung cakrawala”. Manusia modern, model manusia borjuis yang diagungkan sebagai Subyek, justru seperti Odisius yang sama sekali tidak menghilang, malah akhirnya kembali ke Ithaka — ke miliknya — setelah menempuh perjalanan yang penuh risiko dengan memakai tipu muslihat dan mengekspolitasi orang lain,
Dari sini ethika kedaifan adalah satu posisi untuk menangkis Subyek ala Odisius yang perkasa yang menaklukkan “yang-lain”. Itulah sebabnya Adorno, dengan satu pandangan materialistis, mengacu kepada apa yang somatik dan menderita dalam manusia.
Tapi saya tak tahu apakah Martin cukup baik membaca Adorno…
Nah, sekian dulu jawaban saya sementara ini. Saya harus segera kembali ikut menyiapkan sebuah pementasan.
Harapan saya, diskusi ini akan menandai kesukaan kita kepada pertukaran pikiran yang lebih sehat, tak cuma tuduh menuduh.
1. Premis Martin: saya pasti memusuhi Marxisme. Dasarnya: “Goenawan Mohamad sebagai bagian dari seniman yang diorganisir oleh PSI yang sedang kalah angin dari PKI di tahun 60-an.” Atau: “Kita tahu dia menulis dari awal tahun 60-an dari perspektif PSI yang begitu ketakutan terhadap PKI.”
“Kita tahu…”. Tapi rupanya Martin tidak tahu.
Ketika saya masuk ke gelanggang penulisan di tahun 1960-an, PSI sudah tak ada. PSI sudah jadi “partai terlarang” sejak saya masih di SMA. Saya tak pernah membaca karya Syahrir termasuk “Perjuangan Kita” – apalagi itu termasuk buku yang dilarang — sebelum tahun 1970-an. Syahrir sendiri sudah dipenjarakan. Saya mengenal Syahrir lebih intensif kemudian, terutama dari biografi yang ditulis Rudolf Marazek (1994). Saya berteman dengan beberapa kader PSI, atau yang saya duga demikian, tapi PSI sendiri sebagai partai — juga sebuah partai kecil — sudah lumpuh. Orang ketakutan kalau dianggap “PSI”. Mereka paria politik waktu itu. Kampanye mengganyang mereka sangat intensif hingga PSI jadi sebuah stigma. Sampai sekarang.
Entah mengapa, stigma itu juga dilekatkan kepada inteligensia yang tak jelas partainya – dan dalam generasi saya itu cukup banyak: Arief Budiman, Marsillam Simanjuntak, Nono Makarim, dan lain-lain. Mereka sering dianggap ‘PSI’ tapi sama sekali bukan orang PSI. Dari kelompok generasi itu, yang dekat dengan PSI (sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis) adalah mendiang Soe Hok Gie.
Bahkan generasi sebelumnya demikian juga: Mochtar Lubis, yang sering dianggap PSI, juga bukan orang PSI – malah pernah menulis editorial di Indonesia Raja yang mencemooh orang-orang mantan PSI yang suka mengklaim seseorang itu sebagai ‘orang kita’.
Satu hal perlu ditambahkan, ada yang tak jelas pada Martin. PSI punya dasar Marxisme, sebagai partai sosial-demokrat; maka seandainya saya seperti diduganya, “diorganisir PSI”, tentunya saya tak akan punya anathema terhadap Marxisme. Kecuali jika Martin menganggap PSI bukan Marxis…
Kekurangan serius Martin adalah bahwa ia – yang lahir setelah masa itu — tak menelaah sejarah pemikiran Indonesia dari masa tahun 1960-an, apalagi secara teliti.
2. Martin bertolak dari asumsi bahwa saya penganut “humanisme universal”. Tapi rupanya Martin tak mengerti bahwa sejarah pengertian ini dalam pemikiran (sastra) Indonesia tidak linear.
Penganjur utama “humanisme universal” adalah H.B. Jassin, tapi seperti dalam suratnya di tahun 1950 (dimuat dalam buku “Kritik dan Esei”, jilid I). Jassin sendiri menyerang ‘”humanisme universal” yang hendak disuarakan majalah Gema Suasana yang dikelola Asrul Sani dan Chairil di tahun 1946: sebuah pandangan yang menurut Jassin jauh dari semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Jassin kemudian punya pengertiannya sendiri tentang “humanisme universal” yang sering dipertahankannya. Tapi seperti disebut dalam teks “Manifes Kebudayaan”, (Jassin ikut merumuskan dan menandatanganinya), pengertian ini tidak satu. Yang dipilih para penandatangan “Manifes Kebudayaan” adalah pengertian ini:
“…bahwa kebudayaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati nilai-nilai universal, bukan semata-mata temporal, tetapi juga menghayati nilai-nilai eternal.”
Kalimat itu, bagi saya, yang ikut merumuskan naskah itu, mengandung pandangan tentang universalitas yang berbeda dengan pandangan Kant. Dalam pengertian saya, jika yang universal adalah sesuatu yang transendental, maka itu adalah “transendental” dalam pengertian yang tak lepas dari sejarah, dari ruang dan waktu. Di sini baiklah saya perkenalkan pengertian Terry Eagleton dalam “On Evil” tentang bentuk transenden yang bukan “vertikal”, melainkan “horisontal”. Menurut Eagleton (dia juga Marxis, lho), transsenden yang horisontal terjadi karena:
“there is no necessary conflict between the historical and the transcendent, it is because history itself is a process of self-transcendence. The historical animal is one who is constantly able to go beyond itself.”
Dengan kata lain, universalitas, sesuatu yang transendental, tumbuh dari pergulatan sejarah. Dalam perspektif inilah Marx menganggap proletariat sebagai kelas yang “universal”: universal dalam arti mewakili kelas yang tertindas di seluruh dunia dan universal dalam gagasan emansipasinya: terbentuknya masyarakat manusia tanpa kelas, “sebuah wilayah masyarakat yang tak lagi bisa mengklaim satu tempat kesejarahan, melainkan manusia sebagai satu.” (lihat “Early Writings”, terbitan Penguin Books, 1975, hal. 254 dan 256).
Tapi Marx tak pernah melepaskan pandangan bahwa “tempat kesejarahan” itu sesuatu yang niscaya. Dengan perspektif seperti itu juga Laclau, misalnya, kemudian mengembangkan argumen tentang “universalitas yang tak satu”.
3. Martin juga berasumsi bahwa saya sepakat dengan pandangan kaum pasca-modernis atau “pasca-strukturalis”. Sampai derajat tertentu ada benarnya. Bagi saya, pandangan pasca-strukturalis, yang merayakan perbedaan, memang punya peran dalam melawan pandangan yang mengukuhkan struktur yang “integralistik”, seperti Indonesia dalam pandangan Orde Baru, juga menolak gagasan kekuasaan yang totaliter dalam Naziisme, Fascisme atau Stalinisme.
Tapi saya juga punya kritik terhadap pandangan pasca-strukturalis. Pertama: pandangan ini menampik tiap bentuk universalitas. Ini, (terutama dalam premis Lyotard di awal), bukan saja keliru, tapi tak membuka jalan bagi pergerakan politik yang pada suatu titik memerlukan konsensus dan kohesi, bukan merayakan perbedaan semata. Kedua, pandangan pasca-strukturalis yang merayakan perbedaan itu tak menunjukkan adanya pengakuan akan dialektika. Seperti saya tulis dalam Catatan Pinggir dalam salah satu majalah Tempo bulan Juli 2011:
“Politik dewasa ini sering mendesakkan agar kita menghargai kearifan lokal, identitas-identitas yang berlainan, atau keunikan sebuah kaum. Yang tak disadari, sikap ini bisa berakhir dengan politik yang, seperti sikap konservatif, tak menghendaki transformasi. Seakan-akan tak ada konflik dalam sejarah. Seakan-akan tak ada dialektik, seakan-akan perbedaan dalam hidup ibarat dua sisi rel kereta api yang sejajar, tak bertaut, maka tak akan bertabrakan.”
Di samping asumsi-asumsi yang keliru atau setengah keliru itu, Martin tak menyukai argumen saya, bahwa Marx “hanya separuh benar” dan bahwa “kekuatan sosial tidak identik dengan modal”.
Tapi dalam sejarah memang ada kekuatan sosial yang tanpa modal: para ulama atau brahmana di dusun-dusun – dan juga para pengurus Partai Komunis di Uni Soviet dan RRC.
Martin tak mencatat, mungkin tak mau melihat, bahwa “negara sosialis” telah melahirkan “kelas baru” tanpa modal: nomenklatura yang punya privilese – yang dipegang orang Partai. Milovan Djilas, bekas tokoh Partai Komunis Yugoslavia (yang bukunya, “The New Class”, dalam versi Inggris, di tahun 1962 saya dapat diam-diam dari seorang teman Yugoslavia yang berkunjung ke Indonesia) sudah menunjukkan itu. Beberapa dasawarsa kemudian sinyalemen yang sama dikukuhkan oleh Mao Zhdong: ia mengerahkan “massa” untuk menggempur markas besar Partai Komunis Cina – yang dianggapnya telah jadi kekuasaan musuh “massa”. Di tahun-tahun selanjutnya kita lihat perlawanan kaum buruh Polandia terhadap Partai Komunis yang berkuasa – satu konflik yang tak bisa dijelaskan sebagai perlawanan buruh terhadap kekuasaan modal. Dengan kata lain: dalam pengalaman sejarah, kekuasaan yang tak disertai modal sebagai milik privat bisa juga menimbulkan alienasi.
Saya tak tahu apakah Martin pernah dan mau membaca kesaksian orang-orang yang hidup di Uni Soviet dan Eropa Timur di masa Stalin atau bertemu dengan orang yang pernah mengalami alienasi dalam sistem itu. Dalam teksnya yang mengemukakan totalitarianisme ia tak menyebut Kambodia di bawah Pol Pot, di mana Marxisme-Leninisme dibawakan dalam bentuk totalitarianisme yang ekstrim dan berdarah. Atau Korea Utara, di mana Marxisme-Leninisme berevolusi dari nomenklatura tokoh Partai jadi aristokrasi keluarga.
Saya memang tak bisa menyamakan kapitalisme (yang bertolak dari kebebasan individu – dan tentu saja kebebasan untuk rakus) dengan totalitarianisme, yang meniadakan individu. Tak berarti kapitalisme tak penting lagi untuk dilihat sebagai sumber alienasi. Namun dalam tulisan saya itu saya sedang meletakkan satu perkara dalam fokus – yakni alienasi yang terjadi dalam negeri-negeri sosialis; itu tak berarti alienasi di tempat lain dinafikan.
Dari tulisannya saya dapat kesan, bagi Martin, kritik kepada Marx, atau kepada para penafsirnya yang resmi, harus dianggap anti-Marxis. Padahal banyak suara yang memakai bendera Marxis yang tak bebas dari kritik. Kritik itu tak berarti “anti-Marxis”: kita tak bisa mencap misalnya Trostky (kecuali bila kita Stalinis) sebagai “anti-Marxis” bila ia melawan Stalinisme yang totaliter yang telah menghukum mati praktis seluruh anggota Politbiro Partai dari masa Lenin.
Martin (yang tak saya ketahui sikapnya terhadap Stalinisme) menganggap saya bukan Marxis atau Marxis gadungan atau musuh Marxis diam-diam. Saya selalu geli bila diberi label. Saya terbiasa menulis sastra, bukan pemikir sistematik – dan sebab itu terbiasa untuk tidak bolak-balik dalam satu sistem pemikiran, apalagi siap ditentukan oleh satu “isme”. Terjebak sendiri dalam satu label itu lucu.
Tapi sikap Martin mengingatkan saya kepada sikap MUI terhadap Islam liberal dan Ahmadiyah. JIL dan Ahmadiah itu bukan Islam, kata MUI, bahkan anti-Islam. Dengan kata lain, hanya ada satu cara tafsir – baik tentang Marxisme atau Islam. Yang lain dari tafsir itu dianggap bukan, bahkan bid’ah atau “anti”. Dan yang memutuskan “bukan”, atau “anti” adalah MUI atau….Martin Suryajaya?
Namun saya tak peduli benar apakah saya “Marxis” atau bukan. Yang pasti saya bukan “born-again Marxist”, yang kemaruk Marxisme, yang selalu ingin membuktikan merk Marxisnya, dan dengan pethakilan mempertunjukkan keteguhan “iman”-nya.
Saya mengenal Marxisme sejak dini.
Pertama, karena keluarga dan pendidikan dasar saya. Saya diajari hingga hafal lagu “Internasionale” dan “Tanggal Satu Mei” sejak saya berumur 9 tahun.
Kedua, di antara 1959-1966, perkenalan dengan Marxisme sangat intensif dalam generasi saya. Berlawanan dengan generasi Martin – yang mengalami masa Orde Baru ketika Marxisme jadi ajaran terlarang — generasi saya justru diwajibkan belajar Marxisme, guna memahami ajaran revolusi Bung Karno. Bahkan HMI punya instruktur Marxisme; almarhum Ahmad Wahid yang “Pembaharuan Pemikiran Islam”-nya terkenal itu adalah salah satunya. Saya ingat ada dua teman saya, aktivis HMI juga, yang dengan tekun membaca buku Liu Shao-qi (sebelum dia dijatuhkan Mao), “How To be a Good Communist”.
Ketiga: di masa “demokrasi terpimpin” itu bacaan, buku, majalah, dan film yang masuk ke Indonesia praktis hanya datang dari Uni Soviet dan RRC. Jika mau membaca teori, mudah dan murah sekali membeli buku karya Marx, Engels, Lenin, Plekhanov, Mao Zhe-dong dan lain-lain. PKI sendiri punya penerbitan yang aktif: Ilmu Marxis, misalnya, yang bisa didapat di toko buku di kantor Partai di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Saya mengikuti itu semua dengan antusias: dalam umur antara 19 sampai 21 tahun itu saya kepingin belajar filsafat, dan buku-buku itu amat gampang diperoleh. Tak dapat saya elakkan (dan tak perlu saya pamerkan), pengaruh Marxisme berperan besar dalam masa pembentukan pemikiran itu.
Tapi saya memang tak bisa mengatakan pandangan saya, seperti Martin menyebut pandangannya, “ortodoks”. Saya anggap Marxisme itu penting, tapi hal yang lumrah saja – dan hanya jadi perkara besar yang mengerikan atau sebaliknya mempesona setelah dilarang oleh Orde Baru. Kata “lumrah” berarti Marxisme itu seperti garam bagi makanan: meresap, memberi “daya”, tapi tak kelihatan.
Namun karena lumrah, tak ada yang mencemaskan bila pada suatu taraf ketika “garam” itu terasa terlalu kuat, ia perlu dikurangi kepekatannya. Dan selalu ada unsur-unsur lain yang dicari atau secara tak langsung masuk. Apalagi bagi saya Marx bukan pemikir yang, betapapun dahsyatnya, tanpa kekurangan dan kekaburan. Tafsir terhadap pemikirannya bisa macam-macam dan bisa saling bertentangan.
Akan sia-sia andai Martin ingin jadi wali penjaga Marxisme yang murni, yang bebas dari tafsir. Marxisme yang dipahami Martin itu juga satu tafsir, bukan? Dalam sejarah Marxisme bisa terjadi bacaan yang bertentangan, misalnya antara Lucaks dan Brecht dan Bloch, atau varian yang tak lazim, misalnya dalam pemikiran Walter Benjamin.
Dalam tulisan yang sama, Martin menyerang pandangan tentang kedaifan. Saya memang sering berbicara tentang apa yang saya sebut the ethics of finitude, ethika kedaifan: pengakuan akan keterbatasan manusia sebagai subyek sejarah. Sebenarnya ini tak jauh dari pemikiran lain, dari Vattimo dan juga….Marx.
Misalnya ini bisa berkait dengan satu pandangan yang “sangat Marxis”, karena keluar dari pena Marx sendiri: “Manusia membuat sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri.” Dengan kata lain, manusia tak bisa sepenuhnya lepas dari kondisi yang ada – dan bahkan, dalam membuat perubahan, tradisi masa lalu terus saja menghantuinya.
Ethika kedaifan juga berkait dengan kritik kepada pengagungan subyek manusia (“aku” dalam humanisme Pencerahan) – juga oleh pemikir yang punya akar Marxisme, seperti Althusser dan Adorno. Bagi Althusser, “subyek” hanyalah konstruksi ideologi dan prakteknya, di mana lembaga seperti Negara, Gereja, Hukum, berperan efektif. Ia bahkan mengatakan, peran “Subyek” (dengan ‘S’) tak ada dalam sejarah.
Adorno, dengan mengritik Kant dan Hegel, meletakkan subyek tidak dalam posisi menentukan dan dominan. Subyek epistemik, menurut Adorno, adalah “sesuatu yang secara obyektif dibangun oleh masyarakatnya dan tanpa itu subyek tak mungkin ada”. Yang harus dilihat, kata Adorno, adalah Vorrang des Objekts.
Pengagungan atas Subyek ini pada dasarnya pengagungan atas “aku” yang akhirnya selalu kembali ke diri sendiri yang sama. Pandangan Adorno tentang subyek yang terkait dengan modernitas bukanlah, seperti dikatakan Martin, manusia yang “mengembara tak tentu arah seperti Odisius menuju Ithaka yang selalu hilang dari ujung cakrawala”. Manusia modern, model manusia borjuis yang diagungkan sebagai Subyek, justru seperti Odisius yang sama sekali tidak menghilang, malah akhirnya kembali ke Ithaka — ke miliknya — setelah menempuh perjalanan yang penuh risiko dengan memakai tipu muslihat dan mengekspolitasi orang lain,
Dari sini ethika kedaifan adalah satu posisi untuk menangkis Subyek ala Odisius yang perkasa yang menaklukkan “yang-lain”. Itulah sebabnya Adorno, dengan satu pandangan materialistis, mengacu kepada apa yang somatik dan menderita dalam manusia.
Tapi saya tak tahu apakah Martin cukup baik membaca Adorno…
Nah, sekian dulu jawaban saya sementara ini. Saya harus segera kembali ikut menyiapkan sebuah pementasan.
Harapan saya, diskusi ini akan menandai kesukaan kita kepada pertukaran pikiran yang lebih sehat, tak cuma tuduh menuduh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar