Jauh di balik dendam dan perdamaian, terhantar ingatan. Seperti sebuah samudra. Di
sana Tuan memilih mana lokan yang ingin Tuan takik dari dalam laut yang menyimpan masa lalu itu, dan mana yang ingin Tuan campakkan. Ingatan tak pernah utuh. Masa silam tak pernah satu. Ada kenangan yang memilih damai. Ada waktu lampau yang mendorong Tuan berseru: “Kami ingin menuntut balas.” Ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya menganggap bahwa “sejarah” adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah tersimpan. Tapi bisakah?
sana Tuan memilih mana lokan yang ingin Tuan takik dari dalam laut yang menyimpan masa lalu itu, dan mana yang ingin Tuan campakkan. Ingatan tak pernah utuh. Masa silam tak pernah satu. Ada kenangan yang memilih damai. Ada waktu lampau yang mendorong Tuan berseru: “Kami ingin menuntut balas.” Ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya menganggap bahwa “sejarah” adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah tersimpan. Tapi bisakah?
Siapa pun yang “menengok kembali” sebenarnya tak pernah sepenuhnya “kembali”. Saya tak berbicara tentang Ambon di hari ini, tapi tentang sebuah wilayah lain yang juga mengalami trauma: Rwanda, di tahun 1994, di mana dalam seratus hari sekitar 800 ribu orang Tutsi dibunuh oleh orang Hutu karena sejarah yang terasa pahit.
Sejarah yang terasa pahit—tapi di sini pun orang tak bisa sepenuhnya menengok kembali. Dunia luar memang bisa bicara bahwa, di negeri yang “belum modern” ini, dendam antarkedua suku itu tertanam akarnya berabad-abad. Tapi cerita Philip Gourevitch dalam We Wish to Inform You that Tomorrow We Will Be Killed with Our Families, sebuah buku yang memukau tentang kekejaman di negeri Afrika itu, menunjukkan bahwa akar permusuhan itu punya umur dan bentuk yang lain: sebuah gabungan antara kenyataan sosial-ekonomi dan sebuah mitos yang belum tua beredar.
“Sejarah Rwanda”, tulis Gourevitch, “mengandung bahaya.” Tak ada tradisi historiografi, tak ada peninggalan alfabet; kisah turun-menurun adalah cerita lisan. Yang direkonstruksi para peneliti di universitas selamanya bersifat dugaan. Maka, tak ada sebenarnya yang tahu pasti siapa yang lebih “asli” di antara orang Tutsi dan orang Hutu. Tak jelas siapa yang datang lebih dulu ke wilayah yang semula dihuni orang Twa, yang kini tersisih itu.
Dalam kenyataannya, kedua kelompok itu memakai bahasa yang sama, memeluk agama yang sama (sebagian besar, 65 persen, Katolik, dan 17 persen menganut agama nenek-moyang, selebihnya adalah Protestan dan Islam), dan antarkedua suku itu telah terjadi percampuran sehingga ada etnografer yang menyimpulkan bahwa sebenarnya keduanya tak bisa disebut sebagai dua kelompok etnis yang jelas bedanya.
Tapi ada sesuatu yang menyebabkan mereka memilih politik ingatan yang berbeda. Terutama karena orang Tutsi umumnya hidup beternak, dan orang Hutu berladang, dan yang pertama dikaitkan dengan posisi yang lebih tinggi sedang yang kedua lebih jelata. Dalam sejarah kerajaan lama Rwanda, yang jejaknya konon sampai ke akhir abad ke-14 dengan seorang raja yang disebut sebagai “Mwami”, orang Tutsi memang menduduki jabatan politik dan militer, sementara orang Hutu jadi bawahan. Konflik pernah meledak di tahun 1959 ketika seorang aktivis politik Hutu diserang orang Tutsi dan dikabarkan mati. Segera, sebuah “revolusi sosial” meletus. Orang Tutsi diserbu, rumah-rumah dibakar—sementara pasukan Belgia, wakil kolonialisme yang ada di sana, tak melindungi mereka.
Dalam proses itu, akhirnya beda antara Hutu dan Tutsi lebih ditentukan oleh hubungan dengan kekuasaan negara. Untuk mengukuhkannya, keduanya mengembangkan kebudayaan yang makin berbeda secara negatif: apa yang “Hutu” hanya baru jelas bila ditampilkan sebagai “bukan Tutsi”, dan sebaliknya. Ingatan akan perbedaan pun kian dipertebal, juga dalam soal jasmani: orang Hutu umumnya tambun dan berparas bulat, orang Tutsi ramping berparas panjang; orang Hutu berkulit gelap, orang Tutsi kurang hitam. Meskipun perkecualian tak sedikit didapatkan, beda itu akhirnya dibuat sah oleh sebuah kekuatan yang ekspansif dengan pretensi ilmiah dari luar: orang Eropa. Mereka masuk ke suku-suku Afrika, menulis etnografi, mengukur panjang hidung mereka, dan memilihkan ingatan untuk mendefinisikan mereka.
Di tahun 1863, seorang Inggris bernama John Hanning Speke datang ke wilayah itu, dan pulang dengan sebuah teori yang sebenarnya mengulang purbasangka “Barat”: bahwa peradaban di Afrika Tengah adalah berkat jasa bangsa yang lebih tinggi tubuhnya, lebih runcing bentuknya, yang mirip dengan orang Eropa, yakni suku yang berasal dari Ethiopia, anak-cucu Daud dalam Injil. Mereka, misalnya orang Tutsi, tentu saja lebih unggul ketimbangi ras “Negroid” yang pribumi.
Dalam karyanya, Journal of the Discovery of the Source of the Nile, bahkan Speke punya rujukan yang ajaib: cerita dalam Kitab Kejadian, tentang Kanaan, anak Ham, yang dikutuk Nuh untuk menurunkan para budak. Bagi Speke, seperti bagi banyak orang Eropa semasanya, kutukan Nuh itu adalah awal nasib orang Negroid. Hanya peradaban dari luar yang bisa menyelamatkan mereka. Ia tentu saja berbicara tentang peradaban Eropa. Tapi ia juga menyebut peran suku Tutsi, misalnya, yang dianggapnya sebagai (dalam kutipan Gourevitch) “orang Nasrani yang hilang”.
Ini, tentu, sebuah fantasi kolonialisme. Tapi kolonialisme membubuhkan luka yang dalam ke dalam ingatan mereka yang pernah dijajah. Di tahun 1992, Leon Mugesera, juru bicara Kuasa Hutu, menyerukan agar orang Tutsi “kembali” saja ke Ethiopia, melalui Sungai Nyabarongo. Ketika mereka tak kembali, pembantaian dimulai. Di bulan April 1994, tulis Gourevitch, “Sungai itu sesak oleh mayat orang-orang Tutsi, dan puluhan ribu tubuh hanyut sampai ke tepi Telaga Victoria.”
Kita tak tahu adakah juga hanyut rasa dendam. Sebab, jauh di balik pembantaian atau salam damai, tersembunyi ingatan, yang tak pernah berdiri utuh, bersih, sendirian.
Sumber: Majalah Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar