Selasa, 08 Oktober 2013

Makam



Bumi berkarang Kota Yerusalem praktis sebuah kuburan tua yang kini tak jelas batasnya. Beribu-ribu tahun lamanya penghuni kota ini, apa pun agamanya, mengebumikan jenazah keluarga mereka di tanah itu. Tak mengherankan bila juga di dekat apartemen milik Tova Bracha itu, di Talpiot Timur, terdapat sebuah makam kuno.

Tak tampak ada yang istimewa di situs itu—sampai ketika Discovery Channel menyiarkan sebuah film dokumenter yang menyentakkan dunia. Para pembuatnya, sutradara TV Israel yang terkenal, Simcha Jacobovici, dan sutradara film Titanic, James Cameron, menyatakan makam itu adalah makam keluarga Yesus. Bahkan sisa-sisa tubuh tokoh yang disembah sebagai Kristus, sang Penebus, itu sendiri mungkin diletakkan dalam salah satu dari 10 ossuarium yang ditemukan di dalam rongga di tanah berkarang itu.
Yesus, yang tubuhnya dimakamkan, yang berkeluarga, bahkan mungkin punya istri dan anak….
Saya menonton versi pendek The Lost Tomb of Jesus pekan lalu di Teater Utan Kayu bersama hadirin yang berjejal. Setelah itu, ceramah Ioanes Rakhmat, seorang pendeta yang juga baru menerbitkan bukunya, Yesus, Maria Magdalena, Yudas dan Makam Keluarga. Baik presentasinya maupun bukunya adalah paparan yang jernih dan sangat terpelajar—yang menunjukkan, seperti juga yang hendak dikemukakan film Jacobovici dan Cameron, bahwa bukan mustahil Yesus sebenarnya tak pernah diangkat langsung dengan seluruh tubuhnya ke surga di hari ia disalibkan di bukit Golgotha.
Dengan kata lain: apa yang dituturkan dalam Perjanjian Baru dan dengan versi yang berbeda dalam Quran bisa ”salah”.
Tapi apakah ”salah”, apakah ”benar”? Makam di Talpiot itu memang membuat kita berdebar-debar. Mungkin saja saya salah. Mungkin akhirnya tak akan ada suatu guncangan yang dramatis dalam ketaatan religius di abad ke-21 ini. Apabila 10 ossuarium itu akhirnya membuktikan bahwa keajaiban Tuhan tak terjadi di Golgotha dan sesudahnya—Yesus ternyata wafat sebagaimana manusia biasa, dengan tubuh yang dimakamkan di bumi—mungkin banyak orang akan kembali menemukan cara untuk terus tetap beriman. Seperti dikatakan Jacobovici, orang akan percaya pada yang ia ingin percayai.
Yang kemudian akan tertinggal bagi mereka yang tak mau berhenti berpikir adalah ulangan perdebatan klasik: mungkinkah mukjizat yang begitu dahsyat—tubuh manusia masuk ke surga, yang selama ini dilukiskan sebagai bagian dari dunia roh—bisa terjadi dan Tuhan bisa mengalahkan hukum alam, juga hukum alam yang dikehendaki-Nya? Sejauh manakah beda dan jarak antara Tuhan dan sejarah?
Betapa tak gampang untuk dijawab. Kehidupan Yesus memang mengundang ketakjuban dan skeptisisme. Dalam Yesus, Maria Magdalena, Yudas, Ioanes Rakhmat mencoba menjelaskan dimensi ke-tuhan-an Yesus dan ke-insaniah-annya, dari kata-kata Paulus: ada pembedaan di antara ”Allah” Sang Bapa dan ”Tuhan” sebagai sebutan Yesus. Ada kontinuitas dan diskontinuitas antara kedua ”entitas” itu. Dalam diskontinuitas, dengan sendirinya ”Yesus sejarah” akan didekati sebagai sosok dalam ruang dan waktu.
Itulah sebabnya, sejak abad ke-18 di Eropa, ketika Zaman Pencerahan mulai membuka jalan seluas-luasnya bagi rasio— persisnya sejak Hermann Samuel Reimarus (1694-1768)—para penelaah mencoba menjelaskan ”Yesus sejarah” itu dengan bersemangat. Reimarus, misalnya, melihat pada diri Yesus dari Nazareth seorang revolusioner yang menjanjikan datangnya Messiah, yang karena kegagalannya menyebabkan para pengikutnya mencuri tubuhnya sehabis disalibkan, dan dari sini kisah kebangkitan kembali mulai—juga kelanjutan hidup sebuah agama baru.
Reimarus hanyalah pemula. Dan tak semua yang berbicara tentang ”Yesus sejarah” berkehendak menggugat iman. Bahkan seperti disebutkan dalam karya Albert Schweitzer yang terkenal, Von Reimarus zu Wrede (dalam versi Inggris: The Quest of the Historical Jesus ), para pakar theologi Kristen mencoba mendekati kesejarahan Yesus dalam usaha mereka menjawab apa yang jadi kecenderungan zaman, ketika mukjizat tak dapat lagi diterima sebagai mukjizat, melainkan sebagai gejala alamiah.
Pleidoi itu bisa dimengerti, dan bukan mustahil. ”Kekristenan sendiri,” tulis Ioanes Rakhmat, ”sebenarnya mengakui bahwa Yesus itu seorang manusia juga.” Dari dasar ini rasionalisme abad ke-19 melahirkan pemikir dan theolog yang, seperti Schleiermacher, seorang penerus Kant, berusaha keras dengan nalar membela agama Kristen dari para pengecamnya.
Tapi tak berarti ”Yesus sejarah” memadai. Schweitzer mengungkapkan hal ini dengan mengingatkan akan keimanan Paulus, seseorang yang, berbeda dengan rasul-rasul lain, tak pernah bertemu dengan Yesus sendiri. Kita mengalami apa yang dialami Paulus, tulis Schweitzer, ”ketika kita datang lebih dekat ke Yesus sejarah… bahkan sudah mengulurkan tangan untuk menariknya ke dalam zaman kita, kita harus menyerah dan mengakui kegagalan kita.” Ia mengingatkan pesan Paulus yang paradoksal: mengenal Kristus dalam daging sebenarnya tak mengenalnya lagi.
Jarak atau dalam kata Ioanes Rakhmat ”diskontinuitas” itu agaknya harus ditekankan kembali. Di abad ke-20, sehabis Perang Dunia I, Karl Barth adalah suara yang menegaskan ini. Tuhan dan manusia berbeda secara radikal. Manusia tak akan mengetahui-Nya. Manusia hanya bisa menunggu, dalam agama, datangnya wahyu.
Tapi jika jarak antara Tuhan dan manusia begitu mutlak, bila antara keduanya tak ada dialektika, hanya mungkin ada ”diastatasis”, bagaimana Ia bisa menggerakkan hati kita, bagaimana pula kita memahami-Nya? Bukankah akan lebih mudah bila kita bayangkan seorang manusia, yang kesakitan dan mati sebagai manusia, karena ia tahu betapa dekatnya Tuhan dengan kita yang fana?
Terus terang, saya tak berani menjawab.
~Majalah Tempo, Edisi. 14/XXXIIIIII/28 Mei – 03 Juni 2007~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar