Senin, 07 Oktober 2013

D.L.L



Teks bersejarah itu sederet kata yang bergegas. Tak panjang. Seluruhnya terekam di atas secarik kertas separuh folio. Kita mengingatnya kembali saban 17 Agustus, sebab hampir di tiap hari kemerdekaan itu koran dan majalah memuat kembali foto dokumen ringkas itu, atau orang mereproduksinya dalam ukuran besar pada papan untuk diarak dalam pawai: ”Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia….
Huruf-huruf itu jelas tulisan tangan Bung Karno yang kita kenal coraknya dari dokumen-dokumen lain. Mungkin kalimatnya diguratkan dengan sebuah pena yang kasar. Ada coretan dan perbaikan lebih di satu tempat.

Gugupkah ia waktu menuliskannya? Kita tak tahu. Yang kita hanya dapat bayangkan: sebuah suasana tegang. Di satu ruangan di kota yang masih dikuasai tentara Jepang, Bung Karno dan Bung Hatta dikelilingi para pemuda yang tak sabar. Semua telah mendengar dari radio rahasia bahwa tiga hari yang lalu, 14 Agustus 1945, kemaharajaan Nippon telah kalah perang. Maharaja Hirohito telah menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Artinya kekuasaan itu ambruk dan tak punya daya—apalagi hak—untuk mengklaim bahwa ia berdaulat di Indonesia. Jika Jepang sudah takluk, itulah saat yang baik untuk merebut posisi. Kekuasaan harus dipindahtangankan. Kapan lagi? Ayo, Bung, ayo! Sekarang juga kita merdeka!
Bung Karno pun menulis. Waktu sempit. Keadaan mendesak. Para pemuda mendesak. Momentum tak boleh dilepaskan.
Tapi setelah itu, apa? Setelah kekuasaan berada di tangan ”bangsa Indonesia”, apa yang akan dilakukan? Teks itu tak sempat menjelaskan. ”…mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., akan diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.”
Malam itu, dan 61 tahun kemudian, kita tahu bahwa bangsa ini harus merdeka; sudah berpuluh-puluh tahun ia ingin bebas dari penjajahan. Tapi agaknya tak ada yang tahu bagaimana caranya menyelenggarakan pelbagai hal ”dengan cara seksama” dan ”dalam tempo sesingkat-singkatnya”. Apa pula yang dimaksud dengan kata ”d.l.l.” di dalam kalimat itu? Apa saja yang tergolong ”dan lain-lain”?
Tak ada jawab. Mungkin belum perlu ada jawab. Keputusan untuk memerdekakan diri malam itu tidak berasumsi bahwa segalanya sudah tergambar persis, tinggal dikerjakan. Keputusan itu sadar, mungkin dengan gemetar, bahwa semua dalam keadaan serba mungkin—dan betapa mustahilnya mengelakkan momen kehidupan yang tak hanya terbuka untuk pelbagai kesempatan, tapi juga untuk pelbagai bencana. Keputusan malam itu bukan aplikasi sebuah program.
Dalam arti itu ia cermin kebebasan bertindak, keberanian, juga kerendahan hati. Sebab di situlah para pendiri Republik, yang tak 100 persen tahu apa yang akan terjadi, seraya mengakui ketaktahuan itu melompat masuk ke dalam sejarah. Jika ada di antara mereka yang seperti Hamlet, yang bimbang dan tak henti-hentinya merenung, akhirnya toh berkesimpulan, bahwa berlarut-larut dalam pikiran, ”sebagian membuat kita arif, dan tiga bagian membuat kita pengecut,” seperti kata pangeran Denmark dalam lakon Shakespeare itu.
Di dalam huruf ”d.l.l.” itulah tampak revolusi Indonesia bukanlah sebuah revolusi Leninis. Ia tak bertolak dari teori. Ia juga bukan seperti Revolusi Iran, yang berangkat dari ajar-an dan petuah Ayatullah Khomeini. Bahkan jika proklamasi itu bisa dianggap bagian penting dari revolusi kita, ia ekspresi sebuah pragmatisme yang lebih radikal ketimbang Revolusi Amerika. Pada tanggal 17 Agustus itu, para pendiri Republik kita menampik ”teori penonton” tentang pengetahuan.
Teori itu, kata pelopor pragmatisme modern, Dewey, memanjakan ilusi ini: menganggap manusia, dari tempat duduknya di ketinggian, bisa menentukan kebenaran abadi tentang perikehidupannya. Padahal yang ”benar” tak dapat dipisahkan dari laku. Bagi kaum pragmatis, hanya dengan laku kita dapat menemukan pijakan pengetahuan tentang dunia.
D.l.l” adalah pengakuan, jika ”kemer-de-ka-an” adalah sebuah wacana, ia sebuah wacana yang belum selesai. Tapi lebih penting lagi naskah proklamasi itu seluruhnya mengisya-ratkan, bahwa tak ada wacana yang bisa selesai dan memadai merangkum hal-ihwal.
Kita baca: tak ada pelaku atau subyek dalam kalimat ”akan diselenggarakan dengan cara seksama…” itu. Siapa yang akan menyelenggarakan? Mungkinkah Soekarno-Hatta, seba-gai dua orang yang menuliskan teks itu ”atas nama bangsa Indonesia”? Bagaimana hal itu terjadi, sementara ”bangsa Indonesia” belum memilih mereka? Dan bagaimana di malam dan pagi yang tegang itu, ketika dunia sedang berubah dahsyat begitu Perang Dunia II berhenti, orang merumuskan apa itu ”bangsa Indonesia”?
Pada mulanya adalah logos, kata Alkitab. Tapi hari itu bukan: pada mulanya bukanlah sabda, bukan ”kebenaran”, melainkan tindakan. Tak berarti proklamasi itu sebuah loncatan maut dari kekosongan penuh, tanpa bayangan apa pun mengenai tujuan.
Pada bulan sebelumnya sudah ada rapat-rapat panitia persiapan kemerdekaan. Tanggal 1 Juli 1945 Bung Karno merangkum kesepakatan mereka yang ikut dalam rapat persiapan itu ke dalam sebuah kata: ”Pancasila”. Tapi ”Pancasila” pun, sebagai hasil rembukan, mengandung apa yang kemudian tersirat dalam huruf ”d.l.l” itu: tak ada asas yang layak meniadakan asas yang lain, sebab di dalam kehidupan bersama yang lebih bebas dan lebih adil, selalu ada ”dan-lain-lain” yang muncul, tak terduga-duga, terkadang terasa ganjil. Tak ada wacana yang tak akan digugat oleh mereka yang tak tertampung.…
Teks proklamasi itu sederet kata yang bergegas. Tapi keadaan genting yang melahirkannya mengingatkan: hidup, juga hidup sebuah bangsa, terdiri dari saat-saat yang tak pernah sempurna. Hidup selalu mengandung ”dan lain-lain” yang belum tercatat. Sebab itu kita harus terbuka, berseru kepada Republik ini, ”bangunlah jiwanya, bangunlah jiwanya….”
~Majalah Tempo Edisi. 26, 21 – 27 Agustus 2006~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar