Senin, 07 Oktober 2013

Pamuk



Ketika Orhan belum berumur 10 tahun, ia membayangkan Tuhan sebagai seorang perempuan tua bertudung putih.
”Tiap kali bayangan itu muncul di depanku, aku rasakan kehadiran yang kuat, luhur dan sublim, tapi anehnya aku tak takut-takut amat,” tutur Orhan Pamuk dalam Istanbul (versi Inggrisnya terbit pada tahun 2005). ”Seingatku, aku tak pernah meminta tolong Dia dan petunjuk-Nya. Aku sadar Ia tak pernah tertarik kepada orang macam diriku. Ia hanya peduli kepada mereka yang miskin.”

Hidup novelis Turki ini memang jauh dari mereka yang miskin. Sampai sekarang, dalam usia 54, ia tinggal di lantai ke-4 bangunan lima tingkat yang dulu seluruhnya ditempati keluarga besar Pamuk dan diatur seorang nenek gemuk dari tempat tidur. Dari jendela kamar itu akan tampak Masjid Hagia Sophia, Laut Marmara, Selat Bosphorus, Istana Topkapi—hiasan termasyhur tamasya Istanbul.
Si kaya yang aman yang tak menganggap penting Tuhan—itulah yang tergambar dari kenangan Pamuk tentang hidupnya di kota tua yang melankolis itu. Malah mungkin ada sikap yang lebih radikal, jika novel Beyaz Kale (versi Inggris: The White Castle) kita anggap mengandung anasir otobiografis si pengarang. Kakek si Faruk, sejarawan pemabuk dalam novel ini, tak percaya kepada Tuhan tapi kepada Pencerahan Eropa. Ia ingin membawa rasionalisme ke Turki dan menulis 48 jilid ensiklopedia. Kakek Si Orhan sendiri gemar menyanyikan ”lagu-lagu atheis”.
Orhan sadar, cinta Tuhan menjangkau siapa saja di rumah itu. Tapi ia juga tahu: ”orang macam kami cukup beruntung tak membutuhkannya”. Bagi si kecil ini, Tuhan ada buat menolong mereka yang kesakitan, menawarkan rasa senang kepada mereka yang tak punya uang untuk mendidik anak, membantu para pengemis yang tak henti-hentinya menyebut nama-Nya.
Kesalehan dan kemiskinan, kelas atas dan kemungkaran—pola ini, yang dalam variasi berbeda juga pernah tampak di Indonesia, (dengan lapisan aristokrat yang dekat dengan Belanda dan orang kebanyakan yang mendapatkan kekuatan dari Islam)—dihadirkan Pamuk dengan sedikit sayu, sedikit cemooh, tapi penuh empati.
Dalam Istanbul ada Esma Hanim, misalnya, si batur yang tiap waktu senggang akan cepat-cepat ke biliknya untuk menggelar sajadah dan bersembahyang. ”Tiap kali ia merasa bahagia, sedih, takut, atau marah, ia akan teringat Tuhan,” tulis Pamuk tentang pelayan pada masa kecilnya itu. ”Tiap kali ia membuka atau menutup pintu…, ia akan menyebut nama-Nya dan kemudian membisikkan beberapa kata lain, lirih-lirih.”
Umumnya keluarga Pamuk—yang tak pernah berpuasa pada bulan Ramadan tapi menyiapkan berbuka dengan gairah—menerima sikap itu dengan nyaman. ”Bahkan bisa dikatakan, kami merasa lega orang-orang miskin itu bergantung pada… kekuatan lain yang membantu mereka menanggungkan beban.”
Tentu saja ada rasa waswas, ”kalau-kalau orang miskin itu bisa menggunakan hubungan khusus mereka dengan Tuhan untuk menghadapi kami”.
”Hubungan khusus” itulah yang memang kemudian dipakai mereka yang melarat dalam Kar, (versi Inggrisnya, Snow, terbit pada tahun 2005), novel tentang seorang penyair yang datang ke sebuah kota miskin di perbatasan. Di kota itu mereka yang merasa terhina oleh dunia modern, oleh ”Eropa”, memperkuat diri dalam ”Islam” dan dengan amarah. Tapi bagaimana akhirnya tak jelas. Mereka tak hanya dituduh anti-Turki, tapi juga anti-masa depan—masa depan yang digariskan Kemal Attaturk: Turki yang ”modern” dan ”sekuler”.
Dalam arti tertentu, karya Pamuk adalah gema Turki dan benturan ”sekuler-dan-Islam”-nya—mirip dengan yang di Indonesia berbentuk pergulatan ”Timur-Barat”. Tapi novel-novel Pamuk jauh lebih dalam dan lebih tak terduga-duga ketimbang karya para penulis dari jenis yang di sini diwakili Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang—yang sejak tahun 1920-an tak putus dirundung ketegangan orang ”Timur” yang harus memilih, atau menampik, yang ”modern”.
Pamuk merasakan ketegangan macam itu, tapi ia sen-diri tak ikut tegang. Ia pernah mengatakan, di dunia tak ada orang yang menganggap diri sepenuhnya ”Timur”. Ketika ia ditanya apa artinya itu, Pamuk menjawab: ”Saya tak tahu. Biarlah saya nikmati dulu yang puitik dari keadaan itu—keanehannya. Mari kita tak usah memahaminya.”
Yang puitik, yang ”aneh”, yang tak harus 100 persen dipahami, memang hadir dalam prosa Pamuk yang bisa halus, bisa kocak, bisa cemerlang, dan bisa mengejutkan itu.
Dalam Benim Adm Krmz (My Name is Red), pelbagai karakter bicara dalam sebuah cerita pembunuhan pada abad ke-16—termasuk si korban (”Aku sebuah mayat”), si pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang mula-mula realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan apa saja dalam waktu sepekan: menyeberangi Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin secara meriah, memandikan mayat, dan potong rambut….
Atau dalam The White Castle: sosok si Hoja persis sama dengan seorang Italia yang ditangkap dan dipekerjakan di Kesultanan Turki. Bahkan akhirnya Hoja jadi si Italia, pulang ke Venezia dan si Italia jadi Hoja. Seperti Galip yang akhirnya jadi Jelal dalam Kara Kitap (The Black Book), ”watak” tokoh dalam novel Pamuk seakan-akan tak ada, selalu dalam proses, dan narasi bergerak ke tujuan yang tak begitu jelas.
Pamuk memang membedakan diri dari banyak pengarang di Dunia Ketiga, pengarang ”realis yang datar” yang ”merasa sastra harus melayani moralitas atau politik”. Ia menampik sastra macam yang di Indonesia dianjurkan Pramoedya Ananta Toer: ”Saya tak pernah menginginkan model realisme sosialis Steinbeck dan Gorky”.
Ia, pemenang Nobel 2006 buat kesusastraan, memang suara dari dan bagi zaman yang tahu diri: tiap ikhtiar manusia untuk mengubah dunia dengan sastra (salah satu bentuk iradah modernitas) akhirnya gagal—seperti meriam dalam Beyaz Kale yang dibawa pasukan Turki untuk merebut kastil putih Polandia. Senjata modern itu terbenam dalam lumpur.
~ Edisi. 35/XXXV/18 – 24 Oktober 2006 ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar