JAKARTA mungkin kota dengan sebuah lampu Aladin rahasia. Kini kita hanya lupa-lupa ingat apa yang tak ada sebelum April 1966, sebelum Ali Sadikin diangkat oleh Presiden Soekarno jadi gubernur kota ini.
Saya coba susun sebuah daftar dari luar kepala: Jalan H.R. Rasuna Said–Jalan Casablanca–Taman Ismail Marzuki–sejumlah gelanggang remaja–taman hiburan di pantai Ancol–sebuah pusat perfilman–museum tekstil, wayang, seni rupa–stasiun bus kota–halte–lampu-lampu lalu lintas–taksi–taman-taman kecil–kampung-kampung yang dihubungkan dengan jalan yang rapi….
Mereka yang lahir atau datang terlambat di kota ini tak akan merasakan proses yang menakjubkan dari ”tak-ada” menjadi ”ada” itu.
Saya datang ke kota ini pada 1960, untuk jadi mahasiswa Universitas Indonesia, di fakultas psikologi yang waktu itu terletak tak kentara di seberang rumah sakit umum yang masih disebut ”CBZ”. Saya tinggal indekos di satu rumah tak jauh dari Salemba, di mana kampus Universitas Indonesia terselip praktis tanpa halaman. Kadang-kadang saya naik sepeda dari Grogol.
Dulu ada sebuah kebun binatang yang nyaris kosong di tempat yang kini jadi Taman Ismail Marzuki. Dulu ada bus-bus Robur yang hampir mirip kotak yang gemuk bikinan Cekoslowakia, sudah peyot, dengan penumpang yang berimpitan seperti ikan teri dalam kuali. Atau opelet yang separuh kayu persegi untuk tujuh orang dengan seorang kenek yang mengatur penumpang. Atau trem yang bergerak seakan-akan enggan melanjutkan zaman Batavia dalam cerita Si Jamin dan Si Johan saduran Merari Siregar.
Semua itu surut ke belakang kepala, tak lama setelah Ali Sadikin jadi gubernur. Mereka tak tampak lagi. Kota ini berubah, bergegas.
Saya tak mengenang masa pra-Ali Sadikin dengan nostalgia. Saya kira Jakarta bukanlah kota yang cocok buat merindukan masa lalu: penduduk bertambah hampir 6 persen setahun, baik dari kelahiran maupun dari urbanisasi, dan anak + remaja membentuk dasar yang luas di piramida demografi. Dengan kata lain, mayoritas bukanlah mereka yang punya pengalaman yang bisa diingat dari kota ini. Mayoritas penduduk dilecut untuk sibuk dengan kini dan esok.
Ketika Bung Karno melantik Ali Sadikin, Presiden itu bicara tentang impiannya: Jakarta yang dikagumi dunia. Saya tak tahu apakah Ali Sadikin ingat kata-kata itu. Tapi baginya yang mendesak bukanlah apa kata dunia, melainkan apa kata penghuni Jakarta sendiri.
Dan ia pun bekerja. Dan Jakarta berubah.
Ali Sadikin sendiri juga berubah—meskipun ada hal-hal yang tetap dalam hidupnya: kerja kerasnya, keberaniannya untuk membuat sebuah gebrakan dan melawan pendapat yang ingar-bingar, kemauannya untuk mendengar dan belajar sesuatu yang baru, kharismanya, kepemimpinannya, dan juga daya tariknya.
Ia perwira tinggi Marinir yang harus mengurus 5 juta manusia yang begitu beraneka dan berantakan. Cepat atau lambat, ia harus mengambil sikap lain: ia tak bisa terus-menerus membentak. Saya ingat pada hari-hari pertama ia mencoba menertibkan bus kota. Waktu itu puluhan bus kota menggunakan Lapangan Banteng sebagai tempat parkir dan calo-calo menguasai lalu lintas penumpang. Sebuah khaos besar berkuasa di sana. Pada suatu hari, Ali Sadikin datang mendadak. Ketika ia menghadapi seorang calo yang rupanya menjengkelkannya, ia mengayunkan tinju. Orang itu terjerembap.
Tapi ada yang membuat Ali Sadikin tak dibenci: ia mau meminta maaf. Ia bisa melihat kelemahannya sendiri dan kelemahan orang lain. Di Lapangan Banteng itu ia tahu orang yang cari nafkah dengan kasar dan kacau itu bukan oknum yang bersalah. Ia perlu lebih sabar. Sebab yang bersalah adalah kemiskinan. Tak lama kemudian di Lapangan Banteng dibangun sebuah stasiun bus yang bagus dan rapi. Para bekas calo diberi pekerjaan di situ. Tempat itu jadi tempat yang nyaman bagi siapa saja.
Salah satu anekdot terkenal terjadi dengan pelukis Srihadi di sebuah pameran. Salah satu kanvas seniman terkenal itu menggambarkan Jakarta dengan pencakar langit, tapi juga dengan kekalang-kabutannya. Ali Sadikin melihat kanvas itu; ia naik darah. Ia ambil bolpoin dan ia coret-coret karya Srihadi. Para seniman pun protes. Ali Sadikin, yang telah memberi mereka fasilitas dan menghargai kebebasan kreatif, tak membalas dengan mengingatkan mereka akan apa yang telah diberikannya. Malah ia minta maaf. Srihadi kemudian menyimpan karyanya tak untuk dijual; baginya, coretan Bang Ali adalah kenangan tentang seorang pemimpin yang jarang didapat di Indonesia: begitu berkuasa tapi bersedia meminta maaf dan mengoreksi kesalahannya sendiri.
Ali Sadikin memang berbeda dari yang lain di tatanan Orde Baru itu. Ia tokoh yang berdiri agak sendiri, di tepi wilayah Soeharto. Ia diangkat Bung Karno, tak lama sebelum Bung Karno jatuh. Ia seorang perwira KKO, ketika rezim dikuasai Angkatan Darat. Dengan tubuh tinggi dan paras mirip bintang film, ia menonjol mengatasi yang lain—dan ia punya kebanggaan sendiri untuk tak merunduk. Dengan segera orang tahu: Jakarta mempunyai seorang pemimpin, bukan pejabat.
Pada zaman ketika pemimpin dan calon pemimpin dibabat—ketika Soeharto-lah yang menunjuk ketua partai apa pun, memilih panglima angkatan dan kepala daerah mana pun—ketika cara kerja, perilaku, dan bahkan bahasa jadi bagian dari birokratisasi, Ali Sadikin tak tenggelam.
Ia memang memanfaatkan struktur yang dibangun Orde Baru: kepala daerah bisa jadi pemegang otokrasi. Tapi ia punya rasa percaya diri yang besar pada dirinya yang menyebabkannya—seorang otokrat par excellence—tak gentar mendengar kritik, tak takut akan ide baru dan saran orang.
Seandainya ia jadi presiden republik….
Tapi ia tak mau. Ia mengajukan kritiknya yang fundamental kepada ”Orde Baru”, tapi ia membuktikan kritik itu bukan karena rasa iri dan getir orang yang sudah tak berkuasa lagi.
Saya belum pernah menjumpai orang sebesar dia dalam sikap. Bertahun-tahun lamanya bagi saya hanya dia presiden saya.
~Majalah Tempo Edisi. 14/XXXVII/26 Mei – 01 Juni 2008~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar