Senin, 14 Oktober 2013

Machiavelli, Marxisme, dan Mungkin








…. ide-ide Niccolo Machiavelli, filsuf politik abad ke-16, sangat bermanfaat…  pendekatannya terfokus pada peran individu sebagai aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik.  Pendekatan ini berbeda sekali dengan fokus Marx dan pengikutnya pada pergolakan dan perbenturan kelas yang amat membatasi atau malah menafikan peran individu selaku penyebab perubahan sosial.                               
 R. William Liddle, ‘Marx atau Machiavelli: Menuju Demokrasi Yang Bermutu di Indonesia dan Amerika’ – ‘Nurcholish Madjid Memorial Lecture’, di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 8 Desember 2011.   
***

Machiavelli adalah sepatah kata kotor yang tidak bisa dielakkan. Nama itu selalu dikaitkan dengan kalimat ´tujuan menghalalkan cara.’  Tetapi  orang Italia ini  juga dikenang karena menulis sebuah buku tentang kepemimpinan politik yang selama 500 tahun diperbincangkan. Ia bukan cuma sebuah bunyi suram.


Ia memang tidak merumuskan pikirannya sebagai sebuah teori. Tak ada metafisika dalam tulisannya. Tak ada telaah etika.  Ia berangkat dari pengalaman — jalan panjang yang ujungnya kegagalan. Bukunya itu, Il Principe, yang dengan cepat rampung di tahun 1516,  ditulisnya di sebuah villa tua tempat ia mengundurkan diri. Setelah ia kalah.

Tiga tahun sebelumnya, ia, pejabat tinggi Republik Firenze, kalah dalam perang dan politik, kehilangan jabatan, dan sempat ditahan dan disiksa.  Selepas itu, bersama isteri dan empat anaknya ia menyingkir  ke San Casciano, 15 km di barat daya Firenze.

Dari sini lahir ‘pamflet’ itu, yang dalam bahasa Latin disebut De prinsipatibus, (belum dalam bentuk buku), pada tahun 1513. Uraiannya yang lebih panjang disebut  Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio — paparan seorang peminat sejarah yang sedang ingin mengubah zamannya seendiri.

Il Principe adalah analisa kiat kekuasaan.  Bila ‘teori politik’ sebelumya memberi pedoman bahwa seorang pemimpin politik baru sah menggunakan kekuasannya bila disertai moral yang lurus, Il Principe tidak. Dalam kitab ini politik adalah kepiawaian tinggi untuk membentuk, merebut, mempertahankan, dan memperkuat negara, lo stato. Moralitas dan agama hanya penting sepanjang membantu tujuan itu.

Buku itu dilarang Gereja pada tahun 1559. Machiavelli memang tak berharap banyak dari agama. Baginya, agama, dalam hal ini agama Kristen, hanya mengagungkan manusia yang lembut hati dan kontemplatif, bukan manusia yang bertindak. Padahal dalam politik yang terpenting adalah virtù.

Virtù berarti kejantanan, tapi maknanya bertaut dengan tindakan: ketegasan, keberanian, kegesitan, kelicikan — semua sikap yang perlu buat mengukuhkan kekuasaan.

Dengan virtù manusia menghadapi dan mengalahkan nasib, Fortuna.  Machiavelli mengiaskan Fortuna sebagai ‘sungai yang destruktif’, yang bila marah, mendatangkan banjir. Tapi ‘sungai’ itu, Fortuna, bisa dijinakkan. Dengan bahasa seorang misogynis, Machiavelli mengibaratkan Fortuna ‘seorang perempuan’ yang perlu digocoh dan dipentung, agar bisa ‘dikendalikan.’  Dengan virtù.

***

Machiavelli hidup di zaman Renaissance yang meyakini manusia sebagai pengukur semesta. Tidak mengherankan bila dengan konsep virtù ia membuka jalan bagi ide tentang ‘subyek’ yang jadi ciri dunia modern: manusia sebagai ‘aku’ yang tidak gentar sihir alam. Dengan akalnya, ‘aku’ menjinakkan nasib dan dunia.

Saya kira ide tentang ‘subyek’ itulah  yang bergema dalam pengertian Liddle tentang ‘individu’. Seperti saya kutip di atas tulisan ini, bagi Liddle individu itu ‘aktor mandiri’. Ia ‘memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik’.

Dari situ Liddle mengemukakan yang dilihatnya sebagai kelemahan, bahkan kegagalan, Marxisme.  Tapi saya berpendapat premis ilmuwan politik itu sendiri tidak kuat benar. Ada tiga kritik.

***

Asumsi Liddle tentang ‘individu’ bertolak dari ilusi.  Itu catatan saya yang pertama. Ia menyebut kemandirian seraya mengabaikan asal-usul kesadaran tentang ‘aku’ –  bahwa identifikasi diri sesungguhnya dibentuk oleh bahasa,  tata simbolik yang disusun dan dikukuhkan struktur sosial, hukum yang dijaga kekuasaan,  ‘superego’ atau apa yang disebut Lacan sebagai  nom-du-père, asma ‘Sang Bapak’ beserta larangan-larangannya.

Kemandirian sang aktor politik yang dikemukakan Liddle juga tidak memperhitungkan individu sebagai oknum yang terjerat alienasi sebagaimana dianalisa Hegel dan Marx: manusia yang dikendalikan pelbagai berhala yang dibangunnya sendiri, baik berupa benda, sistem, tradisi, atau keyakinan. Memang ada ‘kemauan bebas’, tetapi itu adalah momen ketika seseorang memilih bertindak; berada dalam-kemauan-bebas  bukanlah sifat dasarnya.

Kritik kedua: Machiavelli sendiri sebenarnya tidak sepenuhnya meletakkan ‘individu’, alias subyek, dalam posisi sentral. Risalahnya, yang dalam bahasa Latin disebut De prinsipatibus (bahasa Inggrisnya: principalities), lahir dari keprihatinan membangun keutuhan wilayah dengan sebuah negara yang kukuh. Machiavelli menginginkan   Italia yang  kuat, yang tidak terpecah dalam beberapa satuan politik; meskipun ia pernah tidak yakin, benarkah ia seorang patriot. Bila ia    membicarakan ‘Sang Raja’ senafas dengan ‘kerajaan’-nya atau Penguasa dengan la stato, itu karena ia hidup dengan sisa ingatan ke abad pertengahan, ketika kedua hal itu bertaut.

Orang pun terkecoh, tak melihat bahwa Il Principe justru berisi tuntutan yang harus dipenuhi Raja – termasuk bersedia  mengabaikan nilai-nilai moral pribadinya, demi tugas sebagai pemimpin. Individu — termasuk Sang Raja – hanya instrumen buat memperkukuh negara, lo stato. Ia terbelah sebagai subyek dan sebagai obyek.

Mungkin itu sebabnya, dalam Discorsi, Machiavelli tidak yakin sang Penguasa adalah sosok yang solid dalam merawat Republik. Judul bab LXIII kitab pertama: ‘Orang banyak (la multitudino) lebih arif dan lebih konstan ketimbang Raja’.  Dalam hal berhati-hati dan menjaga stabilitas, kata Machiavelli, il popolo (‘rakyat’) punya pertimbangan yang lebih baik. ‘Bukan tanpa alasan jika dikatakan, suara rakyat adalah suara Tuhan’, karena, katanya, ‘opini yang universal’ tampak menghasilkan hal-hal yang mengagumkan.
Tentu saja Machiavelli bukan seorang demokrat jenis abad modern. Tak tampak niatnya  menegaskan rakyat sebagai penyangga utama atau bahkan sumber kekuasaan Republik. Tapi ia tidak juga meletakkan posisi pemimpin sebagai  sumber tunggal kekuatan. Ada keprihatinan yang terus menerus: Machiavelli mengkhawatirkan  manusia (termasuk Raja) — yang baginya bukan makhluk yang ‘baik’ — akan bertindak destruktif bagi kelanjutan hidup negara. Virtù bisa mengendalikan itu, tapi juga hukum dan sistem untuk tak tergantung pada satu Pemimpin.

Dalam keprihatinan  itu Machiavelli melihat melihat kehidupan politik sebagai hubungan antagonistis — satu hal yang juga kemudian jadi premis teoritisi politik abad ke-20 seperti Schmitt, Laclau, dan Mouffle. Kekuasaan negara tumbuh dari konflik dan teror. Ketika ia menganjurkan agar sebuah Republik perlu merevitalisasi diri dengan ‘kembali ke dasar awal’-nya, Machiavelli mencontohkan prosedur – semacam ritual — yang dilakukan orang di Firenze tiap lima tahun sejak 1434-1494: melakukan  ripigliare lo stato, mengulang kembali penegakan negara, dengan membangkitkan rasa jeri dan takut (kepada musuh) seperti ketika di awal dulu.

Artinya, bagi Machiavelli, kekuasaan bukan datang dari desain di luar gerak sejarah. 

***

Mungkin itu sebabnya Machiavelli pernah dianggap sebagai ‘pendahulu pendekatan materialisme terhadap sejarah’. Dalam Political Thought from Machiavelli to Stalin: Revolutionary Machiavellism,  (Palgrave Macmillan: 2004), E.E. Rees mengutip kesimpulan itu dari ensiklopedia tentang negara dan hukum yang diterbitkan Uni Soviet di tahun 1925.

Tentu tidak tepat benar. Pandangan Marx tentang sejarah lebih optimistis. Bagi Machiavelli, watak manusia sama; dunia pada dasarnya tak berubah. Bagi Marx, dialektika akan melahirkan dunia baru tempat manusia merdeka.

Meski begitu, ada titik temu antara Machiavelli dan Marx:  keduanya tidak mengakui hadirnya apapun yang transendental. Tidak ada  rekayasa dari Langit atau ‘Aku’ di luar ruang & waktu. Subyek dan identitas — baik Raja dengan virtù‘-nya, il popolo (bangsa, rakyat) dengan hasrat kemerdekaannya, atau proletariat dengan aksi pembebasannya — justru  baru menegas dari antagonisme dan perjuangan politik. Pada awalnya bukanlah Ide.

Bedanya, Machiavelli — dari Italia abad ke-16 yang penuh guncangan politik — lebih peka akan ketidak-ajegan. Discorsi punya banyak contoh dari karya sejarawan lama Livio untuk menunjukkan bahwa dengan teror, tanpa desain, kekuasaan negara tumbuh dari keadaan suatu saat, suatu tempat. Perwujudannya beraneka-ragam sebagaimana beraneka-ragamnya kondisi  manusiawi.

Marx juga melihat kondisi manusiawi itu sebagai ‘basis’ dari ‘superstruktur’ yang berupa kekuasaan politik. Tetapi dari abad ke-19 yang bersemangat dengan kepastian ilmu (bukankah ia menawarkan ‘sosialisme yang ilmiah’?), Marx lebih yakin sejarah mengarah ke akhir yang tegas: masyarakat merdeka, tanpa pengisapan dan konflik.

Kita tentu tidak seyakin itu lagi. Zaman ini tak percaya lagi ilmu tak bisa salah. Selain itu, manusia telah mengalami krisis berkali-kali menghantam dunia di bawah kapitalisme, tetapi sampai awal abad ke-21 ini tidak tampak sosialisme mendekat. Wajar bila orang lebih cenderung kepada ketak-pastian Machiavelli.
Itu juga yang agaknya  mendorong filosof dan anggota setia Partai Komunis Prancis itu, Althusser, menulis sebuah risalah 100-halaman: Machiavel et Nous, yang terbit setelah ia meninggal dalam usia 72 pada tahun 1990. Mikko Lahtinen memaparkan dengan perseptif perkembangan pemikir Marxis terkemuka ini dalam Politics and Philosophy: Niccolo Machiavelli and Louis Althusser’s Aleatory Materialsm (Koninklijke Brill NV: 2009) — salah satu sumber saya untuk risalah ini.

Bagi Althusser, Machiavelli ‘pemikir materialis terbesar dalam sejarah’.  Namun ‘materialisme’-nya hampir seutuhnya dibentuk oleh praxis politik, hasil pergulatan dengan keadaan di suatu saat, pikiran yang mengikuti kaki yang bergerak terus di tanah. Ini sebuah materialisme yang bukan sistem filsafat, dan karena itu, berbeda dari Marxisme, tidak menjelaskan ke mana arahnya.

Althusser menyebutnya matérialisme aléatoire. Akar kata ini, alea (Latin), berarti dadu. Materialisme ini bertolak dari pengertian ´materi´ yang tak mendorong diri ke suatu bentuk, semacam dasar dunia kehidupan yang tidak mengarah ke satu sistem.  Bentuk dan sistem akan datang dari luar — tetapi datang seperti dadu yang dilontarkan ke ruang kosong (vuoto).  Serba-mungkin.

Di sana selalu berkecamuk antagonisme,  kompetisi kekuasaan untuk memberi bentuk –  terutama antara yang mau menguasai dan yang menampik dikuasai. Dan di ruang kosong yang bisa diisi pelbagai ‘mungkin’ itu, tidak ada satu kelompok pun yang pasti akan menang — atau bisa mengklaim hak untuk menang.
Tidak ada otoritas yang memutuskan.  Pintu terbuka. Sebuah gerak politik demokratis akan selalu mendesakkan diri. Bentuk kekuasaan yang lahir tidak akan bisa mengelakkannya, sebab ia hanya satu dari banyak kemungkinan. Termasuk ‘demokrasi liberal’ bukanlah penutup bagi kemungkinan-kemungkinan yang berbeda.

Dengan demikian ketegangan demokrasi bukanlah antara ‘individu’ dan ‘kolektifitas’, melainkan ketegangan menghadapi ‘mungkin’: ketegangan untuk mengisinya dengan berpegang kepada kebenaran yang diterima karena efektif (Machiavelli:  verità effettuale della cosa) tapi juga berpegang pada cita-cita tentang dunia yang tanpa penindasan. Seperti yang diinginkan Karl Marx.

Jakarta, 13 Desember 2011

1 komentar:

  1. "Agen poker terbesar dan terpercaya ARENADOMINO.
    minimal depo dan wd cuma 20 ribu
    dengan 1 userid sudah bisa bermain 9 games
    ayo mampir kemari ke Website Kami ya www.arenadomino.com

    Wa :+855964967353
    Line : arena_01
    WeChat : arenadomino
    Yahoo! : arenadomino"

    BalasHapus