Senin, 07 Oktober 2013

Libanon



Pesawat-pesawat tempur pertahanan,
Mengitari tinggi langit empat kota
Hingga busuk serakah dan nestapa
Tak bisa menggapai mereka.
— Bertolt Brecht
Pesawat tempur yang mengoyak langit memang hanya peduli akan satu hal: meniadakan yang hidup di bawah sana. Puisi Brecht tentu saja tak menjelaskan ganasnya kapal-kapal terbang pancar gas Israel di Libanon hari ini. Sajak itu lebih bicara tentang hubungan kapitalisme dan perang: keperkasaan militer adalah indi-kasi niat bertahan yang lucu, ketika yang berkuasa tak hendak mengakui betapa busuknya ”serakah dan nestapa”.

Tapi bukankah ”serakah” (Gier) tak hanya berarti hasrat memperbesar milik—modal atau wilayah—melainkan juga keinginan memperluas rasa jeri di hati musuh dalam tingkat yang tak sebanding dengan ancaman sang musuh itu sendiri? Yang terjadi di Libanon bukanlah ”satu mata dibalas satu mata”, melainkan ”satu mata dibalas berpuluh-puluh mata”. Belum sampai 60 orang Israel tewas, termasuk prajurit, setelah dua orang tentara ditangkap gerilyawan Hizbullah dan roket-roket dilontarkan ke kota-kota Israel, tapi diperkirakan telah 600 orang Libanon mati—sebagian besar warga yang tak hendak berperang.
”Nestapa” dalam sajak Brecht punya arti khusus: kesengsaraan si miskin yang diisap si kaya. Tapi kini ”nestapa” adalah yang dialami Palestina dan Libanon—dua negeri yang jauh lebih lemah ketimbang musuh yang menyerbunya. Tapi tak hanya itu: ”nestapa” tampaknya akan menenggelamkan semua pihak di Timur Tengah dalam bentuk balas-membalas berdarah yang entah sampai kapan akan berakhir.
Tentu saja semua dilakukan atas nama ”pertahanan”. Keperkasaan militer—biarpun dengan kebusukan yang ter-sirat di dalamnya—selalu punya daya pikatnya sendiri. Hanya ada beberapa puluh orang Israel turun ke jalan memprotes perang kali ini, sementara sebagian besar tidak. Perbandingan ini berlaku di Amerika Serikat, dan mungkin juga di tempat lain: suara populer adalah suara marah, dari rasa terancam atau terhina yang tersebar, dan sebab itu senjata dan kata-kata galak disambut beramai-ramai.
Dari sini juga dapat dilihat makin meluasnya dukungan terhadap Hizbullah di negeri-negeri Arab, di kalangan Sunni atau bukan—bahkan juga di kalangan pengikut Michael Aoun, tokoh Kristen yang pernah menentang kehadiran pasukan Suriah di Libanon.
Itu berarti ”pertahanan” telah jadi sesuatu yang demikian mendesak tapi sekaligus demikian tak jelas; inilah sebuah periode sejarah dengan sebuah khaos yang destruktif. ”Pertahanan” telah jadi sebuah struktur yang begitu kaya artinya tapi sekaligus begitu terbatas: ia bisa ditafsirkan tak habis-habis, tapi pada saat yang sama bisa mengimbau segala golongan hingga tak terasa perlu dipikirkan lagi.
Apa gerangan yang dipertahankan? Bagaimana mempertahankannya? Ketika satu kekuatan militer yang tak terkait dengan satu wilayah resmi dan tak mewakili satu bangsa (dan Hizbullah adalah salah satu contohnya) berhasil mengobarkan perang dengan sebuah bangsa yang mendefinisikan dirinya dengan posisi teritorial, perbedaan antara perang dan terorisme pun luruh. Akhirnya Israel menerobos perbatasan Libanon seakan-akan garis itu tak ada, sebagaimana Amerika Serikat menggebuk Afganistan untuk menghancurkan Al-Qaidah yang entah di mana. ”Perang adalah terorisme dengan anggaran yang lebih tinggi,” demikian tertulis dalam salah satu poster protes di Tel Aviv.
”Perang pertahanan” memang bukan lagi mengenai terra dan territorium, ketika batas wilayah dinafikan. ”Pertahanan” jadi sejenis tata yang menggantikan pengertian ”perdamaian”—ia diimpikan dan tak kunjung tercapai—ketika tata yang ada terus-menerus dianggap tak adil tapi tak dapat diruntuhkan.
Berangsur-angsur, di wilayah tempat para Nabi pernah bicara dan berjanji itu, tata yang diimpikan itu telah jadi eskatologi: pengharapan akan sebuah surga di masa ketika dunia berhenti sebagai dunia. Akhirnya tata itu tak sekadar sebuah kata yang ditafsirkan dengan perspektif yang terbatas, dan sebab itu nisbi. Ia telah jadi penanda yang isinya terpatri di langit, absolut tapi tak teruraikan.
Pada saat itu pula tata itu—yang telah identik dengan ”pertahanan”—membuat perang jadi semacam ritual pengorbanan: darah dan nyawa dipersembahkan, keabadian diseru. Demikianlah semakin jauh tata itu tercapai, semakin besar peran agama-agama—terutama Islam dan Yudaisme—di Palestina, Israel, dan Libanon. Nasionalisme yang bicara soal wilayah di permukaan bumi telah digantikan oleh sebuah semangat yang didasarkan pada asumsi tentang langit yang menjamin.
Tentu saja dengan begitu tata itu jadi bagian sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar. Ia bukan lagi ada di dunia yang ruwet tempat manusia, dalam kondisi yang serba terbatas, bertindak dan memutuskan. Eskatologi dan kesiapan menyelenggarakan ritual pengorbanan bahkan membuat manusia seakan-akan jadi anasir yang suci, pasti, dan tegak di tataran yang tinggi—seperti pesawat-pesawat tempur pertahanan yang digambarkan Brecht: ”Hingga busuk serakah dan nestapa/Tak bisa menggapai mereka.”
Mereka yang angkuh. Mereka yang tak peduli akan cacat dunia dan retaknya gading dalam diri sendiri. Kehidupan politik pun digantikan pembinasaan. Tak ada negosiasi. Tak ada penyelesaian konflik yang dilakukan dengan keadilan yang diakui sebagai genting. Sebab keadilan telah jadi sesuatu yang begitu lurus, keras, dan menakutkan.
Tragis, memang. Sebab dulu di wilayah ini pernah ada berita bahwa Yang Suci bisa merasuk ke dalam yang sehari-hari dan Yang Kekal datang di tengah yang temporal—bukan sebaliknya—dan bahwa keadilan digantikan dengan sesuatu yang tak keras dan menakutkan, yakni cinta kasih dan kemampuan merasakan nasib mereka yang dinestapakan.
~Majalah Tempo Edisi 23, 31 Juli-6 Agustus 2006~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar