Kita sedang menyaksikan semacam nihilisme, dengan paras yang cantik. Ketika partai-partai politik tak lagi memaparkan apa yang mau mereka capai dengan bersaing dalam pemilihan umum, ketika mereka cuma memajang bintang sinetron untuk membujuk orang ramai, kita pun tahu: politik telah berubah. Kita tidak lagi hidup di abad ke-20. Kita tengah memasuki ”sindrom Italia”.
Di Italia, perempuan yang tersohor itu, pemain utama dalam sederet film porno, La Cicciolina, ikut dalam pemilihan umum pada pertengahan 1987. Ia dipilih; ia duduk di Parlemen mewakili ”Partai Cinta”. Pada 1992, ia terjun lagi, ketika di Italia pengangguran mencapai 11% dan inflasi 6%. Tahun ini tampil Milly D’Abbraccio. Ketika perempuan cantik ini masih lebih muda, ia pernah membintangi film yang berjudul, misalnya, Paolina Borghese, Maharani Nimfomaniak.
Sesuatu yang terjadi di Italia tampaknya tak banyak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia kini—meskipun di daftar calon legislator itu belum ada bintang blue film. Kita seakan-akan mendengarkan suara orang Indonesia ketika dari apartemennya di Roma D’Abraccio berkata kepada wartawan Reuters: di sini, ”tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu…. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”
Sudah begitu membosankankah demokrasi di Indonesia—yang baru lahir lagi 10 tahun yang lalu? Saya tak tahu. Tapi orang seperti butuh sesuatu yang gemerlap ketika tak jelas lagi kenapa para pemilih diharapkan datang ke kotak suara. ”Rakyat”, yang di sepanjang abad ke-20 merupakan sebutan bagi sebuah kekuatan yang dahsyat (bahkan suci) karena dialah tenaga dasar perjuangan pembebasan, kini berganti jadi sehimpun angka dalam jajak pendapat. Tak ada sebuah agenda yang menggerakkan para pemilih agar aktif terlibat untuk sebuah republik yang lebih baik. Tujuan yang sejak Aristoteles disebut ”kebaikan bersama” tampaknya sudah hilang, atau dianggap sia-sia, atau kuno.
Kini orang memandang politik dengan mencemooh. Nihilisme itu merayap dan mengambil tempat dengan tenang.
Memang harus dikatakan, suasana ini berlangsung di banyak negeri. November 2007, di Universitas Pennsylvania sebuah panel diskusi diselenggarakan dengan judul, Democracy and Disappointment, dan Alain Badiou dan Simon Critchley berbicara. Rasa kecewa bertemu dengan jemu ketika orang tahu bahwa ketidakadilan masih menginjak-injak sementara tak tampak lagi harapan akan terjadinya perubahan yang radikal. Jika ketidakadilan itu adalah kapitalisme, kita tahu betapa saktinya dia: segala ikhtiar sejak abad ke-18 untuk meruntuhkannya gagal. Slavoj Zizek mengingatkan bahwa Marx menyamakan kekuasaan modal dengan vampir; kini salah satu persamaannya yang mencolok adalah bahwa ”vampir selalu bangkit lagi setelah ditikam sampai mati”.
Apa yang bisa dilakukan menghadapi itu?
Ada yang memutuskan untuk keluar dari medan pergulatan, dan memilih sikap seperti para nabi yang aktif bersuara tapi menjauhi istana, memperingatkan bahaya keserakahan bagi ”kebaikan bersama”. Ada pula yang jadi semacam rahib: setengah mengasingkan diri dan menolak menjunjung ”akal instrumental” yang selama ini dipakai untuk memanipulasikan orang lain dan dunia. Tapi tak jelas, apa yang berubah karena itu.
Mereka yang lebih marah dan lebih ganas akan meledakkan bom, menebar takut dan maut, seperti Al-Qaidah. Tapi kini kita tahu, Al-Qaidah tak menghasilkan sesuatu yang lebih hebat ketimbang banyaknya kematian. Sang Iblis yang dimusuhinya tak musnah. Jaringan teror itu tak sebanding dengan Partai Komunis internasional yang juga gagal—meskipun dulu lengkap punya sebuah organisasi untuk memobilisasi massa, merebut kekuasaan, dan membangun sebuah negeri, bukan hanya menambah jumlah musuh yang mati.
Maka ada yang berkesimpulan, terhadap ketidakadilan yang bertahan itu, kita mengubah politik jadi parodi terhadap politik itu sendiri. Parade bintang sinetron itu, apalagi bintang porno, adalah contoh parodi yang tak disengaja: partai-partai berpura-pura menjalankan ”politik”, tapi sebenarnya melecehkannya sebagai sesuatu yang layak diremehkan. Dengan bintang-bintang dan pesohor lain, yang esensial adalah kemasan. Partai jadi komoditas, lengkap dengan khayalan yang muncul: seakan-akan partai punya nilai dalam dirinya, tanpa proses kerja keras di jalan dan medan perjuangan.
Kini kita punya media massa yang mempermudah parodi itu. Terutama televisi, sumber informasi utama dan pabrik (juga ajang) fantasi orang Indonesia sekarang. Kita tahu televisi perlu menjangkau khalayak seluas-luasnya; kalau tidak, ia akan gagal sebagai bisnis. Untuk itu ia membuat soal hidup dan mati sebagai sesuatu yang gampang dan sedap dipandang, acap kali menyentuh hati, tapi selamanya bisa dipecahkan dan segera dilewatkan. Sinetron tak ingin membuat kita seperti Pangeran Siddharta yang tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus. Sinetron adalah sebuah statemen bahwa serius itu tak bagus.
Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”
Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.
~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 – 31 Agustus 2008~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar