Selasa, 08 Oktober 2013

Harmoko


Syahdan, dua hari setelah Harmoko berhenti dari jabatannya sebagai Menteri Penerangan ”Orde Baru”, datanglah seorang perempuan ke kantor departemen itu. Wajahnya manis, senyumnya tulus meski samar-samar. Di meja penerima tamu, ia berkata, ”Saya datang untuk menghadap Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.”

Petugas penerima tamu itu berkata dengan sopan, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi.”
”Oh, begitu,” jawab perempuan tamu itu. Dan ia pun pergi.
Tapi esoknya ia datang lagi. Ia menuju meja penerima tamu itu pula dan berkata, dengan nada suara yang sama dan senyum samar-samar yang sama, ”Saya datang untuk menghadap Pak Harmoko, Pak Menteri Penerangan.”
Petugas itu (orang yang juga sama seperti kemarin) sejenak terhenyak. Ia ingat, ini tamu yang kemarin juga. Tapi ia menjawab sabar, ”Maaf, Bu, Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi.”
Dan perempuan itu pun pergi.
Tapi esoknya dan esoknya lagi ia kembali, dan adegan, ucapan, dan senyum itu berulang lagi. Sampai lima kali.
Tak urung, para petugas penerima tamu bingung, kemudian curiga, lalu melapor ke bagian keamanan dan protokol. Dengan cepat cerita ini menyebar ke seluruh lantai Departemen Penerangan.
Syahdan, pada hari keenam, para pegawai (yang umumnya memang hanya pura-pura banyak kerja) pun menunggu. Dengan mengintip-intip. Betul juga: perempuan misterius itu datang lagi.
Langsung ia dibawa ke lantai ke-3. Sang Sekretaris Jenderal sendiri, dengan didampingi dua direktur jenderal, duduk menemuinya. Perempuan itu tak tampak gugup atau gentar. Senyumnya tetap, juga ketika salah seorang direktur jenderal bertanya:
”Ibu sudah lima kali ke kantor ini untuk menghadap Pak Harmoko. Petugas kami sudah memberi tahu bahwa Pak Harmoko sudah bukan Menteri Penerangan lagi. Tapi Ibu datang lagi, datang lagi. Kan sudah jelas bahwa Pak Harmoko tak menjabat lagi? Apa maksud Ibu, sebenarnya?”
”Oh, saya tak bermaksud apa-apa, Pak,” jawab perempuan itu. ”Saya datang berkali-kali kemari karena saya senang mendengar kabar baik itu berkali-kali.”
Cerita ini—sebuah fiksi, tentu—hanya lucu jika kita letakkan dalam latar masa ”Orde Baru”, ketika ada ketaksukaan yang meluas kepada Harmoko: Menteri Penerangan yang tak henti-hentinya muncul di layar TV, yang tak habis-habisnya omong yang itu-itu juga, seraya tak putus-putusnya bermulut manis kepada Presiden—di masa ketika media massa dikekang dan orang takut membantah kebohongan para pembesar.
Cerita ini hanya lucu jika orang ingat masa itu, ketika keajaiban bisa sangat sederhana: seorang menteri berhenti.
Kini hal seperti itu tak akan ada lagi. Demokrasi adalah sistem politik yang meniadakan keajaiban. Ada yang lugas di sini: berhentinya seorang yang berkuasa adalah bagian dari regularitas.
Tapi kita tahu, proses yang teratur dan ajek itu bukan sekadar tour of dutyseperti yang harus dijalani para birokrat sipil dan militer. Sebab itu kejutan bukan mustahil. Pergantian masih bisa jadi berita baik. Regularitas dalam demokrasi adalah sebuah struktur yang agonistik: yang naik dan yang berhenti bergerak dalam sebuah bangunan politik dengan ketegangan, perjuangan, persaingan, pertentangan. Ada kalah dan menang.
Tapi dalam kondisi seperti itu, struktur itu dibayang-bayangi oleh hantu yang sesekali memperlihatkan diri, seperti hantu sang raja dalam lakon Hamlet. Ia datang dari Antah Berantah. Ketika ia muncul, kita sadar bahwa sebuah negeri tak pernah bisa benar-benar jelas bagi dirinya sendiri.
Tapi sebenarnya tak hanya itu: Antah Berantah itu, yang tak bisa diterangkan dan ditangkap oleh bahasa dan sistem, oleh artikulasi dan proses politik, bukanlah sekadar bagian yang turah tak tertampung sistem. Ia lebih mendasar. Bahkan bisa dikatakan tiap negeri berada dalam orbitnya. Berpusar di sekitar Antah Berantah, tiap negeri sebenarnya genting dan tak tuntas disalin dalam satu wacana.
Itu sebabnya, meskipun regularitas adalah bagian yang produktif dalam demokrasi, kita tak akan memandangnya sebagai sebuah kehadiran yang tak bergeming. Kita tak akan lupa bahwa justru regularitas lahir karena ada yang tak hadir, ada yang negatif, yang traumatis, di sekitarnya.
Itu sebabnya pemilihan umum, pergantian pemimpin dan manajemennya, perubahan para legislator dan undang-undangnya—semuanya adalah regularitas yang terjadi dari paradoks demokrasi: inilah sistem yang (seperti telah saya sebut tadi) meniadakan keajaiban, tapi pada saat yang bersamaan inilah sistem yang mengakui bahwa ada yang sesekali muncul dari Antah Berantah.
Itu sebabnya kita selalu perlu risau melihat ke Senayan. Di sana duduk orang-orang yang dengan yakin, mungkin sedikit pongah, memandang diri sebagai intan dua cahaya: cahaya pertama adalah cahaya ”wakil suara rakyat”; cahaya kedua, ”pembuat undang-undang”. Mereka bisa mengatakan, dari tangan merekalah undang-undang sah dan adekuat untuk kepentingan umum.
Tapi benarkah? Undang-undang pada akhirnya hanya akan mencapai apa yang normatif. Ia terbatas. Masih ada sesuatu yang tiap kali bisa hilang dalam kehidupan sebuah negeri di mana yang normatif tak bisa digugat—yakni keadilan.
Sebab keadilan lebih dari norma. Ia tak pernah secara lengkap dipenuhi. Ia juga berada dalam Antah Berantah. Ia seperti hantu yang sesekali datang sesekali hilang dan, seperti hantu dalam Hamlet, begitu penting dalam menggerakkan lakon.
Tapi analogi itu perlu stop di situ. Demokrasi bukanlah sebuah tragedi. Kalaupun keadilan mirip hantu, ia bukan mukjizat. Ia bisa kita panggil dan bisa kita datangkan sekali-sekali—dan ia bisa jadi kabar baik yang kita suka mendengarnya berkali-kali.
~Majalah Tempo Edisi. 05/XXXVII/24 – 30 Maret 2008~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar