Senin, 07 Oktober 2013

Perempuan



Seorang isteri guru ditangkap polisi di Tangerang. Ia berada di jalan di sekitar pukul tujuh malam. Ia harus membuktikan dirinya bukan pelacur. Peraturan Daerah mengharuskan itu. Tuan-tuan yang berkuasa di Tangerang tampaknya berpendapat, tiap perempuan yang berada di luar rumah dalam remang itu perlu dicurigai sebagai “jalang”… 
Bisakah Tuan-Tuan itu memperkirakan, kini “kaum perempuan di Tangerang dicengkram ketakutan”?.  
Tapi mereka mungkin tak mengacuhkan pernyataan Forum Solidaritas Perempuan Banten, 22 Maret 2006 itu – juga tak membayangkan para ibu yang cemas bila anak mereka pulang terlambat dari kursus di malam hari dan saudara mereka kembali dari pabrik setelah senja. 

Mungkin Tuan-Tuan itu akhirnya akan menjawab (dengan dukungan Majelis Ulama):  perempuan memang harus tinggal di rumah, “dilindungi”.  Tuan-Tuan itu pasti bukan kelas bawah yang perlu dapat tambahan penghasilan dari upah isteri yang jadi pemijat, penunggu kios rokok atau bakul jamu. Lagipula ayat suci bisa dikutip, sebagaimana di Arab Saudi Qur’an dan Hadith dikutip untuk memutuskan: perempuan tak boleh berpakaian lain selain purdah, perempuan tak boleh menyetir mobil, dan tentu saja tak boleh jual jamu… 
Perempuan selalu dekat dengan dosa – itulah mungkin pikir Tuan-Tuan di Tangerang, seraya mendengar agama berbicara.  
Tentu saja agama yang datang dari Timur Tengah.  
Saya tak tahu persis kenapa di sana perempuan selalu ditilik demikian. Mungkinkah karena sebuah pengalaman, yang kemudian jadi paradigma, juga metafor – yaitu dahsyatnya gurun pasir?  
Siapa tahu. Sebab ada seorang tua bernama Apa Sisoes. Ia seorang biarawan di Mesir abad ke-4. 
…murid Apa Sisoes itu berkata kepadanya, “Bapa, bapa telah tua. Mari kita pindah sedikit ke dekat tanah yang telah dihuni.“  Orang Tua itu menyahut, “Di mana tak ada perempuan, ke tempat itulah kita harus pergi”. Murid itu pun berkata kepadanya, “Tempat apa lagi yang tak ada perempuannnya, kecuali gurun pasir?”. Dan Orang Tua itu berkata, “Bawa aku ke gurun pasir”. Kisah itu diceritakan kembali oleh Peter Brown, gurubesar sejarah di Princeton University, dalamThe Body and Society, sebuah paparan penting tentang iman dan seksualitas, ketika  perempuan  ditampilkan sebagai sumber godaan yang tak habis-habisnya di masa awal agama Kristen — ketika seorang biarawati yang menepuk kaki  bapak uskup yang sepuh dan sakit sudah bisa dianggap merangsang untuk bersetubuh.  Maka tak mengherankan bila di Mesir masa itu ada seorang rahib yang mencelupkan jubahnya ke bangkai seorang perempuan yang sudah membusuk; ia berharap, bau baseng itu tak akan membuatnya mau berfantasi tentang wanita.  
Bahkan ada seorang calon biarawan yang menggendong ibunya yang tua menyeberangi sungai seraya membungkus tangannya dengan kain, sebab ia tak mau bersentuhan dengan kulit ibunya sendiri.  “Daging semua perempuan adalah api”. 
Perempuan adalah api — daya yang bisa merusak, bagian dari “dunia”, begitulah waktu itu ada petuah agama yang berkata. Wanita harus dijauhi dan dijauhkan.  Ia tak termasuk “gurun pasir”.  
“Gurun pasir”, bentangan alam yang garang itu, waktu itu punya makna tersendiri. Gurun pasir, dalam catatan Brown, “muncul sebagai tempat yang tak tertandingi dalam heroisme Kristen”.  Di sanalah laki-laki bisa hidup keras dan khusyuk melatih diri bebas dari nafsu apapun. Dalam kekhusyukan itu, batas harus tegas antara “gurun pasir” dan “dunia”. 
Maka ketika dunia diliputi “dosa”, di gurun itu — terbentang dari tepi Danau Maryût sampai ke arah Iskandariah, terutama di Wadi Natrûn —  tinggallah ratusan apotaktikoi,  “para penampik” yang tak menghendaki hidup  dengan panca indera yang mencicipi nikmat bumi. 
Penampikan itu tentu saja akhirnya tak hanya terbatas di gurun pasir, dan juga tak hanya di Mesir. Bahkan sejak abad ke-2,  para alim Masehi memandang perempuan sebagai pangkal kematian. Di bawah pengaruh ajaran Tatian, pelbagai kelompok Gereja Kristen Suriah meyakininya. 
…dan mereka bilang, Juru Selamat sendiri berkata:  “Aku datang untuk membatalkan kerja perempuan”… “Perempuan” di situ ditafsirkan sebagai hasrat seksual, “kerja” diartikan  kelahiran dan maut. Demikianlah dengan was-was komunitas Kristen yang terserak sampai ke kaki-kaki bukit
Iran memandang “dunia”:  kelahiran, perempuan, kematian.
 Tapi tak hanya mereka sebenarnya. Juga dari sekitar gurun pasir Timur Tengah, agama Yahudi mengawali rasa was-was itu. Aliran ortodoksnya menggariskan kol isha yang melarang lelaki mendengarkan perempuan menyanyi.
Ada yang hanya mengharamkan mereka menyaksikan pertunjukan nyanyi yang “sugestif”..
Ada yang lebih ketat: mereka melarang lelaki mendengarkan suara perempuan bahkan dalam rekaman. Dan tak cuma itu. Dalam komunitas Yahudi ortodoks zaman modern sekalipun, perempuan tak boleh berbaju tanpa lengan, memakai blouse dengan potongan krah rendah. Celana ketat dilarang. Lutut harus ditutupi. Halacha, syariat Yahudi, mengharuskan perempuan yang sudah menikah menutup rambutnya… 
Saya tak tahu, kenapa dari sekitar gurun pasir Tuhan bertitah agar perempuan diperlakukan demikian. Kenapa di Bali, misalnya, tidak? Mungkinkah karena di sini tak berlaku paradigma “gurun pasir”: para pertapa tak mengalami alam yang kosong dan garang, melainkan hutan  tropis yang semarak, gua yang dirias pohon dan rumpun, akar dan kembang, bunyi burung dan biru gunung?   Dengan kata lain: sebuah “dunia”, di mana yang indrawi tak ditampik, hingga pertapaan bukianlah tempat apotaktikoi?Dalam cerita wayang, di situ malah lahir ksatria Bambang Sumantri dan  gadis Shakuntala.yang gemulai. 
Apapun sebabnya,  di kesunyian hidup brahmana dan resi tak tampak rasa was-was kepada “dunia”, kepada perempuan. Di sana,  tafakur adalah bersyukur.   

Tapi itu dulu. Siapa tahu kita telah berubah, dan Tuan-Tuan Tangerang lebih suka paradigma baru: “
padang pasir”..

Sumber: Majalah Tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar