Di pintu surga, Yudhistira, raja tua yang lembut dan lurus hati itu, ditolak masuk. Permukaan bumi konon terkejut mendengarnya: bisa dipercayakah janji keadilan dalam hidup sesudah mati?
Berabad-abad manusia mengajukan pertanyaan seperti ini, namun para dewa tak menengok. Tuhan tak menjawab.
Tapi kejadian hari itu memang luar biasa. Banyak orang menganggap ini salah satu adegan paling memukau dalam Mahabharata.
Yudhistira ditolak masuk ke surga karena ia bertekad membawa serta seekor anjing yang kurus dan kotor ke dalam. ”Kau harus meninggalkan hewan itu di luar,” kata Dewa Indra di gerbang itu. ”Kalau tidak, kau tak bisa masuk.”
”Hamba harus membawanya,” jawab Yudhistira.
”Tak mungkin. Ada aturan yang melarang binatang masuk ke surga.”
Yudhistira diam sejenak. ”Kalau begitu, hamba tak akan masuk ke sana,” katanya. ”Lebih baik hamba kembali.”
”Ke mana?”
Yudhistira terdiam. Ia tak tahu apa yang akan didatanginya. Tapi ia tak banyak punya pilihan. Ia pun membalikkan badan dan melangkah dengan memeluk anjingnya yang kini menggonggong lirih.
Versi resmi Mahabharata menyebutkan di saat itulah mendadak hewan itu raib, dan yang tampak sosok Yamadharma. Dewa itulah—konon ayah Yudhistira sendiri—yang selama itu sebenarnya menyertainya dalam perjalanan.
Yudhistira terkejut. Tapi segera ia sadar, persoalannya tak berubah: ada yang tetap tak adil di situ. Pendakian ke surga di pucuk Mahameru itu begitu panjang, meletihkan, dan berbahaya—hingga istri serta empat saudaranya mati di jalan—tapi anjing yang lemah itu menanggungkan semuanya. Ia dengan setia menemani Yudhistira sejak batas kota Hastina, sejak semua pengantar mengundurkan diri. Ia juga penolongnya jika jalan sulit dan arah sesat.
Dalam diri binatang yang tanpa pamrih itulah Yudhistira menemukan sosok makhluk yang mulia; kepadanyalah ia merasa berutang budi. Tapi kahyangan menghinanya. Bukan saja si anjing ditolak masuk surga, tapi ditunjukkan bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya bukan kemuliaan. Perbuatan adalah mulia jika ia dilakukan satu subyek yang bebas tapi juga menjadikan dirinya bagian dari pengorbanan. Yamadharma bukan subyek semacam itu. Ia hanya menjalankan tugas kedewaan. Ia tak menanggungkan rasa sakit.
Saya bayangkan Yudhistira tetap memutuskan tak hendak masuk surga. Baginya surga tempat yang sewenang-wenang. Para dewa melarang satu makhluk masuk hanya karena sebuah batasan a priori: ia anjing, titik. Tak ada artinya perbuatan baik. Mantan raja Hastina itu percaya, jika ia melangkah ke dalam, ia akan mengukuhkan ketidakadilan. Ia pun meninggalkan gerbang.
Indra mencoba meyakinkannya. ”Dengarkan, Yudhistira. Kahyangan menghargaimu karena tindakanmu memprotes ketidakadilan. Ketidakadilan memang ada di sini, karena kedermawanan hati—dilakukan anjing atau bukan—dianggap tak ada. Kau benar, ketika kau menggugat.”
”Tapi para dewa telah menipuku. Anjing itu sebenarnya tak ada,” jawab Yudhistira.
”Memang tak ada,” kata Indra. ”Tapi pengorbanan itu ada”.
”Paduka berbicara pengorbanan sebagai sebuah ide. Hamba manusia. Pengorbanan adalah tindak, dengan pelaku dan peristiwanya. Jika anjing yang menderita itu tak ada, apa yang bernilai dari peristiwa itu juga tak ada.”
”Tapi engkau ada. Engkau berkorban, dan engkau ada.”
”Hamba berkorban untuk sebuah ilusi. Tak ada artinya. Hamba tak layak di sini.”
Di mana sebenarnya budi baik? Yudhistira mungkin akan menjawab: ketika ”aku” menegaskan diri, tapi dengan kesadaran dan kebebasan itu pula ”aku” membuat diriku menghilang, agar yang-lain, terutama yang membutuhkan, yang menderita, bisa hadir, terbebaskan, terhibur, dihargai. Budi baik terbit dari sebuah senyum: saat ketika kau melihat hidup sebagai panggilan untuk memandang liyan dengan ramah, takzim, tanpa pamrih.
Liyan: kata bahasa Jawa untuk menyebut ”orang lain” ini memang mengakui ”beda” dalam kedekatan—kedekatan yang justru membuat liyan sebuah enigma, keakraban yang justru membuatnya selalu menjadi: aku tak bisa menudingmu, aku tak berkuasa atas dirimu, aku tak bisa menentukan sejarahmu.
Di titik ini tiba-tiba Yudhistira justru merasa bersalah. Ada yang selalu tak pernah ia ketahui, sebenarnya, juga tentang seekor anjing yang menemaninya berhari-hari di perjalanan. Ia berutang budi kepada hewan itu, tapi mengapa tak ia lihat dalam diri makhluk yang kurus dan kotor itu ada sifat-sifat setengah dewa, seperti dahulu Bhisma: pengorbanan diri yang begitu jauh, dan sebab itu begitu suci? Bukankah tiap perbuatan baik kepada yang menderita adalah secercah cahaya keramat? Yudhistira kini mengakui: makhluk yang menolongnya sampai ke gerbang surga itu akhirnya tak penting identitasnya sebagai anjing; perbuatannya adalah manifestasi Dharma.
Yudhistira pun berhenti melangkah. Ia berpikir kembali: jangan-jangan ia—dan bukan kahyangan—yang telah menghina yang-lain itu dengan satu definisi: ia ”anjing”, titik.
Ia pun berbalik. Ia mulai mendaki lagi. Namun pada tikungan yang ke-7 sebelum pucuk Mahameru ia berhenti melangkah. Bimbang merasukinya lagi. Buat apa sebenarnya ia ke surga: untuk menikmati anugerah, atau untuk mengakui bahwa Indra benar?
Raja tua itu lelah. Ia kini tahu, kemurnian hati tak dengan sendirinya membawa pikiran jernih. Langit makin gelap. Ia melihat cahaya berpendar-pendar dari pucuk Mahameru, dan sayup-sayup terdengar nyanyian langit. ”Jika aku diizinkan masuk ke sana, surga akan menerima seorang yang bersalah. Atau seorang yang pamrih. Atau seorang yang tak punya pilihan lain, karena aku takut ke neraka. Apa artinya tempat itu jika demikian?”
Ia menghela napas. Tiba-tiba ia sejenak merasa melihat di gerbang di kejauhan itu Indra muncul, tinggi dan agung. ”Kemarilah, manusia,” begitu ia dengar kata-kata. ”Kemarilah jika kau tak merasa semua ini hanya ilusi.”
~Majalah Tempo, Edisi. 18/XXXIIIIII/25 Juni – 01 Juli 2007~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar